Jumat, 27 Februari 2015

Menjaga Kehormatan Orang Lain

Kata Khalifah Umar bin Abdul Aziz: "Para pendahulu kita yang shalih tidak memandang keshalihan seseorang itu terletak pada shalat dan puasanya, melainkan pada kekokohannya menjaga kehormatan orang lain."

Jangan suka-suka membuka aib orang lain. Setiap kita pasti memiliki aib. Kalau kita memiliki mulut untuk berbicara, ingatlah bahwa orang lain juga memiliki mulut untuk bercerita.

Ceritakanlah kebaikan-kebaikan orang lain, semoga menjadi inspirasi bagi orang lain untuk berbuat baik dan menjadi lebih baik

Rabu, 25 Februari 2015

Tarim seperti Goa Ashabul Kahfi

Habib Umar Bin Hafidz, setiap Ramadhan selalu menggelar pelajaran tafsir di Darul Mustafa, ditanya mengapa ia memilih Surat Al Kahfi sebagai pembuka pada pelajaran tafsirnya.

Beliau menjawab "Anda memilih untuk datang ke sini, jauh dari dunia, jauh dari kehidupan glamour Anda, jauh dari segala sesuatu. Dalam bulan Ramadhan di tempat ini, daerah yang diberkati Tarim, Anda terputus dari dunia lain dan tidak akan mengalihkan perhatian Anda dari Allah, di sini Anda seperti berada di Goa, Al Kahfi.


*Habib Umar berziarah ke Goa Ashabul Kahfi di Yordania

Bacaan Alquran di samping Kubur

Mengenai Hadis di dalam Kitab Sahih Bukhariy :

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي كَبِيْرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لا يَسْتَتِرُ مِنَ الْبَوْلِ وَأَمَّا الاخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةٍ , قَالُوا يَا رَسُولُ الله لِمَ فَعَلْتَ هَذَا ؟ قَالَ لَعَلَّهُ يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَالَمْ يَيْبَسَا (صحيح البخارى, رقم 209)

“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, suatu hari Nabi SAW berjalan melewati dua pemakaman. Kemudian beliau bersabda, kedua orang yang berada dalam kuburan ini sekarang sedang disiksa. Namun keduanya disiksa bukan karena dosa besar. Yang satu disiksa karena ia kencing dan tidak menutup auratnya. Dan yang lain disiksa karena suka mengadu domba. Lalu Nabi SAW mengambil pelapah kurma dan membelahnya menjadi dua, kemudian menancapkanya diatas kubur masing-masing. Para shahabat bertanya, mengapa engkau melakukan hal tersebut ? Nabi SAW menjawab, semoga keduanya mendapatkan keringanan siksa selama pelepah kurma ini belum kering.”

Al Imam Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Kitab Fathul Bariy menjelaskan :

فتح الباري - ابن حجر - (ج 1 / ص 320)
أن المعنى فيه أنه يسبح ما دام رطبا فيحصل التخفيف ببركة التسبيح وعلى هذا فيطرد في كل ما فيه رطوبة من الأشجار وغيرها وكذلك فيما فيه بركة كالذكر وتلاوة القرآن من باب الأولى

Makna yang terkandung di dalamnya (mengenai peletakan pelepah daun kurma di atas kuburan) yaitu bahwasanya pelepah daun kurma tersebut akan membaca tasbih terus selama masih basah (belum kering), maka hal tersebut bisa menghasilkan keringanan (siksa bagi mayyit di bawahnya) dengan sebab barokah tasbih (dari pelepah kurma tersebut Mengenai permasalahan ini, maka berlaku pula ketentuannya terhadap semua pohon-pohon dan lain-lain yang memang terdapat barokahnya seperti DZIKIR, sedang PEMBACAAN AL QURAN MAKA TENTU SAJA LEBIH UTAMA LAGI.

Jejak Seteru Gus Nuril dan Habib Syech

Oleh: Zia Ul Haq

"Dan berdamai itu baik." [An-Nisa: 128]
Jumat malam, 20 Februari kemarin terjadi insiden kecil di suatu majlis maulid ibukota. Sosok KH Nuril Arifin Husein (Gus Nuril), pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman Wahid ‘diturunkan’ dari atas panggung ketika berceramah di Masjid As-Su’ada, Jl. Bekasi KM 18, Pulogadung, Jakarta Timur, dalam rangkaian acara maulid dan shalawat.

Selang beberapa jam, banyak netizen yang mengabarkan peristiwa ini di media sosial. Kemudian diunggahlah beberapa dokumentasi gambar momen pengajian itu di fanpage Nurul Habib, lalu disusul rekaman video insiden kecil tersebut di Youtube dengan judul "Ceramah Gus Nuril di Masjid Assu'ada Jatinegara Kaum-20 Feb 2015". Ramai juga postingan-postingan tanggapan dari berbagai pihak tentang kejadian ini, baik yang sekedar informatif, memihak, maupun menyayangkan.

Dari berbagai tanggapan khalayak itu, saya merasa risih karena tak sedikit yang bernada provokasi dari kedua belah pihak. Nah, tulisan ini hanyalah pandangan saya pribadi sebagai ‘penonton’ dan bukan simpatisan pihak manapun. Serta usulan bagaimana sebaiknya kita menyikapinya secara proporsional. Ya minimal bagi saya pribadi dan teman-teman sekalian.

Dalam video berdurasi hampir setengah jam tersebut, nampak Gus Nuril menaiki panggung dengan busana khasnya. Beliau duduk di tengah panggung menghadap jamaah. Di belakang beliau, berjajar tokoh-tokoh masyarakat, termasuk pembicara utama pada malam itu, yakni Habib Ali bin Husein Assegaf, pengasuh Majlis Ta’lim Nurul Habib. Nah, posisi Gus Nuril adalah sebagai pembicara ekstra yang diundang oleh ketua panitia, Muhammad Atthiq Murtadho, sebagaimana dikutip NU Online (judulnya; Kiai Pagar Nusa Alami Pengusiran Saat Ceramah Maulid Nabi).

Saat itu Gus Nuril mulai berceramah tentang pentingnya kesatuan bangsa dan penguatan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia dengan bersemangat. Kemudian berbicara tentang bahaya disintegrasi bangsa yang diusung paham-paham impor dan keras, lalu mulai menyinggung masalah-masalah dinamika politik yang sedang hangat saat ini. Dan tak lupa, beliau juga menyampaikan hal-hal yang menurut saya masih sensitif dibicarakan di sebagian masyarakat kita, yakni wawasan pluralitas, etnis, dan politik. Apalagi bila disampaikan di hadapan masyarakat yang masih butuh proses untuk menangkap hal-hal semacam itu. Jelas bisa sangat sensitif.

Di menit ke 26:00, Habib Ali yang sedari tadi diam menyimak, mulai bersuara melalui mikrofon lain untuk menegur Gus Nuril yang dirasa berbicara terlalu jauh, melenceng dari tema tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Bahasa yang digunakan pun menurut saya cukup halus dan santun. Dari suara-suara yang terrekam, terdengar seruan-seruan takbir dan shalawat dari sekitar panggung. Seruan-seruan itu jelas menggambarkan ketidaksetujuan terhadap apa yang disampaikan Gus Nuril, atau malah terhadap sosok Gus Nuril sendiri. Sayangnya sorotan kamera tidak mengarah pada jamaah sehingga kita tidak bisa melihat bagaimana dan sejak kapan gelagat reaksi ‘mereka’ yang tidak terima.

Lalu Habib Ali meminta Gus Nuril untuk mengganti tema ceramahnya. Sebelum Gus Nuril menanggapi, seruan-seruan dari sebelah panggung makin ramai. Suasana menjadi tidak kondusif, maka Habib Ali mencoba menenangkan seruan-seruan itu. Gus Nuril nampak tenang sambil bersila dan tetap memegang mikrofon. Setelah seruan-seruan mereda, Habib Ali meminta Gus Nuril mengakhiri ceramahnya dan ‘istirahat’ saja. Melihat situasi demikian, Gus Nuril berinisiatif mengajak jamaah bershalawat, “Ya Nabi Salam ‘Alayka”, dan jamaahpun mengikuti.

Habib Ali memberi isyarat kepada operator sound system untuk menurunkan volume mikrofon Gus Nuril yang masih tetap melantunkan shalawat. Lalu Gus Nuril diantar turun oleh panitia dan Habib Ali mulai mengucap salam sebagai pembuka ceramahnya kepada jamaah. Tentang kejadian sebelum atau setelah rekaman video ini, saya tidak tahu. Meskipun ada beberapa laporan dari pengguna facebook dengan tendensi-tendensi tertentu, lebih baik kita simpan saja sebagai informasi tertutup.

Efek Domino

Peristiwa ini menunjukkan ketidakcocokan sebagian kalangan terhadap pandangan-pandangan Gus Nuril. Salah satu posting netizen yang pro-FPI jelas-jelas menggambarkan hal tersebut, judulnya "KYAI GEREJA NURIL ARIFIN GAGAL CERAMAH DIPAKSA TURUN OLEH UMAT ISLAM JAMA'AH MASJID ASSU'ADA JATINEGARA KAUM JAKTIM!".

Dalam tulisan tersebut, mereka menyebut Gus Nuril sebagai penghina habaib dan tokoh sesat, menyitir ungkapan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam suatu kesempatan. Dari sini kita bisa membaca bahwa kesebalan sebagian pihak terhadap Gus Nuril adalah sebab pernyataan-pernyataan emosional beliau menyangkut para habaib, khusunya menyinggung sosok Habib Syech.
Memangnya ada apa dengan Gus Nuril dan Habib Syech? Mari telusuri. Karena inilah hal yang menurut saya menjadi sumber permasalahan. Insiden malam Sabtu kemarin hanya efek domino saja.
Pada Senin, 9 Desember 2013, Gus Nuril berceramah di Gereja Bethany, Tayu, Pati, Jawa Tengah. Beliau diundang untuk mengisi rangkaian acara Natal Kebangsaan dalam tema ‘Nyanyian Perdamaian’ di gereja tersebut. Videonya tersebar luas dengan judul KH. Nuril Arifin Ceramah Di Gereja Tayu Pati Full dengan durasi hampir satu jam. Jadi, memang bukan dalam seremoni misa natal yang selalu digelar pada 25 Desember, melainkan –hanya- rangkaian acara natal.

Video ini mencuat pada momen natal tahun lalu (2014) dan menuai berbagai komentar dari netizen. Baik mengecam maupun mendukung, baik memuji maupun mencaci. “Ada kiai ceramah di gereja!” begitu seru khalayak. Saya pun terpancing untuk ikut menonton rekaman tersebut, maka saya tonton. Ternyata isinya tidak heboh-heboh amat. Gus Nuril menyampaikan hal-hal yang bersifat informatif dan cocok di tengah-tengah audiens umat Kristiani.

Adanya tentangan dari pihak yang sepakat tentu menjadi hal yang wajar. Pro-kontra kiai masuk gereja pun mulai mencuat. Obrolan dan komentar tentang aksi Gus Nuril di Pati pun banyak bertebaran, tentu dengan berbagai biasnya. Salah satunya diungkapkan secara terbuka oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, pengasuh Majlis Shalawat Ahbabul Musthafa, di hadapan ribuan jamaah shalawat di Jawa Timur yang terrekam dalam video di Youtube dengan judul "HABIB SYEKH: KYAI YG CERAMAH DI GEREJA ITU KYAI ORA WARAS"

Dalam potongan video tersebut, Habib Syech mengritik kiai yang keluar masuk gereja untuk berceramah. Menurut beliau, orang-orang semacam itu adalah sesat dan menyesatkan, serta jangan ditiru. Toleransi yang tepat, menurut beliau, adalah dengan saling membantu dalam urusan duniawi, misalnya ada tetangga non-muslim yang kelaparan, maka seorang muslim wajib membantunya. Namun tidak demikian dengan urusan akidah. Kiai yang mengisi ceramah di gereja sudah kelewat batas, menurut beliau.

Untuk hal ini, tentu saya sepakat dengan Habib Syech, Apalagi memang kultur masyarakat kita belum bisa menerima, masih rentan dan harus pelan-pelan. Namun rasanya sulit untuk menerima pernyataan Habib Syech selanjutnya bahwa kiai-kiai yang berceramah di gereja adalah orang-orang yang tidak waras, kemudian sebutan ‘otaknya rusak’ (campur uget-uget). Pernyataan ini menggeneralisasi dan bisa menggiring opini khalayak ramai.

Dalam situasi dan kondisi tertentu, tidak masalah ulama masuk ke gereja untuk berdiskusi, seminar,
atau berceramah dalam rangka dakwah. Namun memang sebaiknya tidak perlu ditonjol-tonjolkan sehingga bisa memancing fitnah di tengah umat. Main cantik itu perlu di tengah zaman yang riskan dengan berbagai kemunafikan media ini.

Video kecaman Habib Syech pun menyebar. Lalu muncullah tanggapan dari Gus Nuril. Pertama saya lihat di postingan status facebook beliau. Kemudian lebih jelas lagi beliau sampaikan pada suatu momen pengajian Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad (Gus Nuril Menjawab Habib Syech). Dalam video berdurasi 13:39 tersebut, nampak betul kekesalan Gus Nuril terhadap kecaman-kecaman yang dituduhkan Habib Syech.

Pada awalnya saya sepakat atas argumen Gus Nuril tentang kerukunan antarelemen bangsa, kemudian wajarnya dakwah ke berbagai kalangan masyarakat, serta pentingnya menjalin hubungan dengan nonmuslim. Apalagi ketika Gus Nuril mengungkapkan kiprah pengislaman beliau terhadap banyak tokoh berpengaruh. Tentu hal ini patut diapresiasi. Namun ketika beliau menyinggung sosok pengecamnya, yakni Habib Syech, saya mulai cemas.

Di situ Gus Nuril dengan jelas menyatakan bahwa Habib Syech hanyalah mantan supir truk di Arab. Jelas pernyataan ini adalah sindiran yang berlebihan. Beliau juga sampaikan bahwa nama ‘Syech’ itu tidak tepat disandang karena itu adalah kata gelar, sehingga tak tepat bila kata gelar tersemat sebagai nama orang. Pernyataan ini juga -menurut saya- ledekan yang kurang tepat disampaikan dalam forum terbuka semacam itu.

Apalagi ketika beliau mulai berbicara tentang keturunan Arab dan seluk beluk habaib. Ini adalah salah satu tema yang kemudian dijadikan senjata bagi para pengecam Gus Nuril. Menurut mereka, Gus Nuril tidak mengakui adanya keturunan Rasulullah saat ini, dan tidak menghormati kiprah para habaib sebagai penyebar agama Islam di Nusantara. Tidak seperti Gus Dur yang sangat membela kalangan habaib sebagaimana pernah disampaikan pada tahun 1994 di kediaman Habib Novel, Pesantren Al-Fachriyyah Tangerang. Untuk hal ini, apakah Gus Nuril mengakui kiprah para habaib –khususnya jalur Yaman- atau tidak, tentu biar beliau yang mengkonfirmasinya. Sebagai warga NU berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah, eksistensi ahlul bayt dengan berbagai variasi sebutannya (habib, syarif, sayyid) adalah hal yang absah dan mutawatir.

Gojek

Dalam dua video yang dicantumkan di atas, ada kemiripan yang disampaikan dua tokoh kita ini. Pertama, keduanya sama-sama menampilkan diri sebagai sosok yang punya tempat dalam Nahdlatul Ulama (NU). Habib Syech mengatakan bahwa beliau adalah anggota mustasyar NU, sedangkan Gus Nuril menyampaikan bahwa beliau adalah pemimpin pendekar-pendekar Banser NU.
Kedua, adanya tudingan beraroma materialistis dari masing-masing tokoh. Habib Syech menuding bahwa sosok-sosok kiai yang masuk gereja semacam ‘itu’ memiliki motivasi fulus. Sedangkan Gus Nuril, secara menyindir, sosok Habib Syech diundang kemana-mana untuk ‘bernyanyi’ pasti banyak mendapat ‘sangu’.

Ketiga, sama-sama mengungkapkan kekesalan emosional. Habib Syech mengangkat ungkapan ‘tidak waras’ kepada sasaran kritiknya. Gus Nuril juga berkata ‘goblok’ dalam tanggapannya. Ya, meskipun kedua tokoh ini tidak secara gamblang menyebutkan nama, namun kita tentu paham siapa yang dimaksudkan.

Tiga hal ini, menurut saya, sudah keluar dari konteks kritikan. Murni merupakan asumsi pribadi yang dibumbui kekesalan emosional. Maka ketika mengamati dua video ini, saya sempat tersenyum geli. Karena saya jadi teringat kebiasaan saling ledek saya bersama teman-teman di pesantren. Istilahnya; gojek. Saat ada teman yang mendapat undangan selametan, teman yang lain berseloroh; “Asiiik berkat berkaat.” Ketika ada teman yang baru pulang kenduren, teman yang lain meledek; “Merah atau biru?”

Hal-hal seperti itu, sangat biasa di lingkungan kami. Saling gojek dan ledek begitu lumrah dalam kehidupan pesantren. Maka saya kira, tuduhan-tuduhan emosional bernada ledekan itu hanya sekedar gojek dari masing-masing tokoh. Semoga saja begitu. Namun saya berpikir lagi. Bukankah ada situasi dan kondisi yang tepat untuk saling gojek, bukan untuk konsumi khalayak awam seperti itu?
Nah, jika ungkapan emosional tersebut bukan gojek, maka kemungkinan lain adalah khilaf, kepeleset lisan. Sebagai penganut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, saya meyakini bahwa para rasul adalah sosok-sosok maksum yang terjaga dari kesalahan. Namun tidak demikian halnya dengan umat beliau, para ulama sekalipun. Ada kemungkinan kepeleset ucapan, keliru pendapat, hingga ketelingsut wawasan. Ini kalau kita sepakat bahwa kedua tokoh yang kita bicarakan di sini termasuk dalam kategori ulama. Apalagi jika tidak termasuk dalam kelas ulama, hanya ‘dai’ misalnya.

Promotor NU & NKRI

Di Aswaja TV, stasiun televisi resmi PBNU, Gus Nuril sering menyampaikan wejangan-wejangan mencerahkan. Beliau mengajak masyarakat, khususnya warga NU untuk teuh pada akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawa Walisongo ke Nusantara. Beliau juga mengajak masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang kokoh.

Di momen lain, masih saya ingat betul instruksi Habib Syech yang kebetulan sering diundang di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Saat itu saya menyimak dari kamar. “Jangan ada bendera yang dikibar-kibarkan selama majlis ini selain Merah Putih!” begitu ujar beliau. Di kesempatan lain, beliau selalu mempertegas identitas warga NU sebagai garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Intinya, dua tokoh kita ini berjuang di lahan perjuangan yang sama. Warna dan frekuensi yang sama. Beliau berdua sama-sama mengajak masyarakat untuk menekankan aspek spiritualitas. Sama-sama mengajak masyarakat untuk meneladani dakwah Walisongo. Sama-sama mengibarkan panji-panji Nahdlatul Ulama. Dan tentunya, sama-sama mengajak masyarakat untuk mempererat tali kebangsaan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu mengapa sampai ada retakan semacam ini? Saya curiga ada pembisik-pembisik di sekeliling keduanya yang membiaskan informasi yang benar sehingga menimbulkan keliru tanggap dan kesalahpahaman. Ketika saya membincangkan ini dengan beberapa teman-teman santri, ada yang menyatakan; “Kalau saja Habib Syech tabayun dulu ke Gus Nuril tentang isi video itu,” ada juga yang bilang, “Kalau saja Gus Nuril cukup memberikan penjelasan seperlunya saja, tak usah menanggapi secara berlebihan.”

Tapi apalah arti kicauan remah-remah roti di tengah ladang padi semacam kami. Namun kami tetap berharap ada solusi bagi polemik ini sebelum dimanfaatkan media-media provokasi. Bagi kalangan yang sudah mapan berpikir, mungkin biasa-biasa saja. Namun bagaimana nasib warga nahdliyyin awam yang sudah kadung tresna dengan lantunan shalawat Habib Syech dan gemuruh semangat kebangsaan Gus Nuril? Kasihan mereka.

Maka siapa lagi yang bisa mengasihi mereka kalau bukan para ulama dan pendakwah? Solusi konkrit problem ini adalah dibukanya pintu komunikasi di antara kedua tokoh. Agar tak berlarut-larut. Pihak yang menjadi penengah tentu ormas yang selalu dielu-elukan keduanya, yakni Nahdlatul Ulama. Di sinilah sebaiknya posisi NU, baik pengurus maupun simpatisan, tidak usah memihak.

Walau bagaimanapun, baik Gus Nuril maupun Habib Syech, adalah promotor NU dan kesatuan NKRI yang memiliki basis massa tidak sedikit. Tentu saja dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia. Sebagai payung, PBNU selayaknya tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut hingga menimbulkan insiden kecil di awal tulisan.

Semoga peristiwa ini bisa menjadi teguran bagi kita untuk makin mempererat persatuan sebagai saudara seperjuangan. Maaf jika dalam tulisan ini banyak bertabur frase 'menurut saya' karena memang sekedar tanggapan pribadi saja. Dan Anda pun bebas mengungkapkan pendapat menurut Anda.
~


Salam damai.
Krapyak Yogyakarta, 24 Februari 2015

7 Doa yang Dikabulkan Allah

1. Doa seorang Muslim untuk saudara sesama Muslim dari jauh.

2. Doa seorang Muslim yang dipanjatkan dalam keadaan bahagia.

3. Doa seorang Muslim dalam keadaan teraniaya.

4. Doa seorang Muslim dalam keadaan tertekan.

5. Doa seorang Muslim dalam keadaan bermusafir.

6. Doa seorang Muslim dalam keadaan berpuasa.

7. Doa orang tua Muslim untuk anak-anaknya.



Dikutip dari buku “Kesalahan dalam Berdoa” karya Ismail bin Marsyud bin Ibrahim Ar-Rumaih

Maka Hilanglah Tawadlu

Seorang shaleh berkata:

*Dulu kami menuntut ilmu di masjid-masjid, lalu sekolah-sekolah dibuka, maka hilanglah barakah.

*Lalu dibuatlah bangku-bangku (untuk murid), maka hilanglah tawadlu'.

*Dan (kemudian) diadakanlah ijazah, maka hilanglah keikhlasan.


Lebih Sibuk Dari Habib Umar bin Hafidz

Apakah kita lebih sibuk dari Habib Umar Bin Hafidz?

Yang sebelum datang waktu fajar sudah siap berada di masjid darul mustafa, setelah sholat berjamaah, berdzikir dan terus memberikan pelajaran kepada muridnya sehari penuh, terbang ke manca negara berdakwah berminggu minggu sepanjang tahun, bertemu dengan pemimpin negara, berbincang dengan ulama besar lainnya dan tak jarang kembali kerumah hanya untuk beberapa saat.

Mengisi waktu malamnya untuk dekat dengan Penciptanya.

Tapi itu tidak membuatnya melupakan orang orang yang dicintai Allah dan Nabi, bersilaturahim dengan orang miskin.

 Meski terkadang harus duduk dipelataran rumah mereka, tidak mengurangi kebahagiaan beliau.



. كان رسول الله ﷺ يحب المساكين والفقراء ويجلس إليهم

Rasulullah Shallallahu alaihi wa alaa aalihi wasallam sangat mencintai orang miskin dan selalu duduk bersama mereka

Sabtu, 21 Februari 2015

Hanya Sebuah Kewajiban

Bila engkau anggap Sholat itu hanya penggugur kewajiban,
maka kau akan terburu-buru mengerjakannya.

Bila kau anggap Sholat hanya sebuah kewajiban,
maka kau tak akan menikmati hadirnya Allah saat kau mengerjakannya.

Anggaplah Sholat itu pertemuan yang kau nanti dengan Tuhanmu.

Anggaplah Sholat itu sebagai cara terbaik kau bercerita dengan Allah SWT.

Anggaplah Sholat itu sebagai kondisi terbaik untuk kau berkeluh kesah dengan Allah SWT.

Anggaplah Sholat itu sebagai seriusnya kamu dalam bermimpi.

Subhanallah sungguh nikmat Sholat yang kita lakukan.

Tidak sia sia yang menyebarkannya,

Tidak rugi orang yang membacanya,

Beruntunglah orang yang mengamalkannya.
ILMU IMAN AMAL


Kelak Sepatu Bisa Bicara

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

والذي نفسي بيده لا تقوم الساعة حتى يكلم الرجل نعله

Demi Dzat yang jiwaku berada pada kekuasaan-Nya, kiamat tidak akan terjadi sehingga seseorang berbicara dengan sandalnya.

رواه ابن حبان

Beberapa waktu yang sebuah pabrik sepatu berhasil membuat sepatu yang dilengkapi dengan GPS, yang dapat menunjukkan perjalanan arah yang dituju. Hal ini menjadi tanda semakin dekatnya hari kiamat. Selain menjadi bukti mukjizat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tentang tanda-tanda menjelang hari kiamat.





Apakah Kamu Mengingkari Sunnah

Melaksanakan sunnah harus sesuai dengan waktu, tempat dan keadaan. Sekarang banyak yang semangat melakukan sunnah tapi tidak mengetahui kapan waktu yang tepat untuknya. Modal semangat tanpa didasari dengan keilmuan.
Syekh Muhammad al-Ghazali (1917-1996)
Saya ingat cerita Syekh Muhammad al-Ghazali. Suatu ketika beliau menyampaikan kuliah. Duduklah salah satu murid tepat didepan beliau duduk. Murid itu setiap waktu bersiwak. Ia terus menggerakkan siwak dimulutnya, kekanan kekiri dan terus menerus. Sesekali ia biarkan siwak itu menempel dimulutnya, lalu ia kembali bersiwak dan menggeraknya dengan tangan kekanan dan kekiri.

Syekh merasa terganggu konsentrasinya. Gerakannya terlalu sering hingga mengganggu fokus.

"Nak, tolong sudahi siwakanmu itu. Kamu mengganggu konsentrasi saya," kata syekh kepada murid tersebut.

"Hai, syekh! ini sunnah nabi. Apakah kamu mengingkari sunnah?" jawabnya dengan suara meninggi semangat.

Syekh diam dan terkejut atas jawaban tadi.

"Nak, mencabut bulu ketiak itu juga sunnah, apakah kamu akan mencabutinya di majelis ini juga?"

Seisi ruangan tertawa. Ia akhirnya malu.

Ini akibat dia kurang wawasan akan sunnah. Tidak melihat waktu dan tempat. Keadaannya bagaimana.

Ilmu adalah dasar dalam melaksanakan sunnah dengan baik.


-Habib Ali al-Jufri

Rabu, 18 Februari 2015

Harta Waris (Memang) Tidak Sama

Kisah menakjubkan tentang kecerdasan Imam Syafi`i.


Dikisahkan bahwa terdapat sekelompok ulama yang memendam rasa dengki kepada Imam Syafi`i, mereka bersiasat untuk melakukan tipu daya kepada Imam Syafi`i. Akhirnya mereka berkumpul di suatu tempat untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan dalam masalah fikih dan akidah untuk menguji sejauh mana kecerdasan Imam Syafi`i.


Akhirnya para ulama itu bertemu dengan Imam Syafi`i di dalam sebuah kesempatan yang dihadiri oleh Khalifah Harun al-Rasyid dan mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang telah mereka persiapkan sebelumnya.


Mereka bertanya, “Dua orang muslim yang berakal meminum minuman keras, kenapa hanya satu di antara mereka yang mendapatkan hukuman sedangkan satu lagi bebas?”


Imam Syafi`i menjawab, “Yang terbebas dari hukuman itu adalah anak kecil, dan yang dihukum itu adalah anak yang telah mencapai akil balig, dewasa.”


Mereka bertanya, “Terdapat lima orang lelaki yang berzina dengan seorang wanita. Lelaki pertama mendapat hukuman pancung, yang kedua dirajam, yang ketiga hanya dicambuk seratus kali, yang keempat dicambuk lima puluh kali, dan yang terakhir tidak dihukum apa-apa. Kenapa bisa terjadi?”


Imam Syafi`i menjawab, “Lelaki yang pertama menghalalkan perkara yang diharamkan Allah, yaitu zina, maka ia telah murtad dan mendapatkan hukuman pancung. Lelaki yang kedua adalah lelaki yang telah beristri, maka ia mendapat hukuman rajam. Lelaki ketiga adalah lelaki bujang, maka ia hanya mendapat hukuman cambuk seratus kali. Lelaki keempat adalah seorang budak, maka ia hanya mendapatkan setengah dari hukuman lelaki biasa. Dan lelaki yang kelima adalah orang gila, maka ia tidak mendapatkan hukuman.”


Mereka bertanya, “Ada seorang lelaki yang melaksanakan salat. Saat ia salam menoleh ke kanan, ia menceraikan istrinya. Saat ia salam menoleh ke kiri, salatnya batal. Dan saat ia menoleh ke langit ia harus membayar sebanyak seribu dirham. Bagaimana ini terjadi?”


Imam Syafi`i menjawab, “Saat ia menoleh ke kanan, ia melihat suami dari wanita yang telah ia nikahi. Saat ia menikahi wanita itu, suami wanita tadi hilang dan tidak diketahui keberadaannya. Dan ketika ia tahu bahwa lelaki itu hadir di sana maka seketika itu juga ia menceraikan istrinya itu.


Saat ia menoleh ke kiri, ia melihat terdapat najis yang menempel di bajunya, maka batal salatnya. Dan saat ia menoleh ke langit, ia melihat hilal telah muncul di langit, dan sebelumnya ia telah memiliki hutang yang harus dibayar ketika awal bulan. Maka saat bulan baru ia wajib untuk membayar hutangnya.”


Mereka bertanya, “Terdapat seorang lelaki yang mengimami empat orang lelaki lain di dalam sebuah masjid. Kemudian datang seorang lelaki ke dalam masjid. Saat imam tadi salam pertanda selesai salat, sang Imam tadi mendapatkan hukuman pancung, dan empat orang makmum mendapatkan hukuman cambuk, dan masjid tempat mereka salat itu dihancurkan. Kenapa ini terjadi?”


Imam Syafi`i menjawab, “Lelaki yang masuk masjid tadi awalnya memiliki seorang istri yang ia titipkan di rumah saudaranya saat ia pergi ke suatu tempat. Kemudian sang imam tadi datang dan membunuh saudara lelaki tersebut dan mengklaim bahwa wanita ini adalah istri dari saudara itu, kemudian ia menikahinya. Itulah kenapa sang imam mendapatkan hukum pancung karena telah melakukan pembunuhan.


Dan saat itu empat orang makmum tadi menjadi saksi atas kejadian itu. Mereka tahu tapi tidak melakukan apa-apa, maka mereka mendapatkan hukuman cambuk.


Dan masjid itu awalnya adalah rumah dari saudara lelaki yang terbunuh tadi, yang kemudian dijadikan masjid oleh sang imam. Karena saudara itu telah mati terbunuh, maka rumah itu menjadi harta warisan yang diserahkan kepada si lelaki. Dan karena bangunan itu adalah miliknya, dan imam menjadikannya masjid tanpa seizin pemiliknya, maka masjid itu dihancurkan.”


Mereka bertanya, “Ada seseorang yang minum air dari sebuah mangkuk, ia telah meminum sebagian air itu, namun kemudian sisanya diharamkan baginya. Kenapa demikian?”


Imam Syafi`i menjawab, “Ia telah meminum air yang halal, namun kemudian ia mimisan dan darahnya masuk ke dalam sisa air di mangkuk tersebut. Tercampurlah air itu dengan darah, maka haramlah baginya untuk meminum sisa air tersebut.”


Mereka bertanya, “Ada dua orang lelaki berada di atas atap sebuah rumah, kemudian salah satu di antara mereka jatuh dan mati. Seharusnya istri lelaki yang jatuh tadi boleh dinikahi oleh temannya, namun dalam kejadian ini istri lelaki tadi haram dinikahi olehnya. Kenapa ini bisa terjadi?”


Imam Syafi`i berfikir sejenak kemudian menjawab, “Istri lelaki yang jatuh tadi adalah putri dari lelaki yang di atas atap, dan lelaki yang di atap itu adalah budak dari lelaki yang jatuh tadi. Saat lelaki tadi jatuh, istrinya yang sebelumnya adalah budak menjadi merdeka karena kematian suaminya. Karena ia merdeka maka ia memiliki harta warisan dari suaminya, dan salah satu harta warisannya adalah budak tadi yang merupakan orang tua dari wanita itu. Maka lelaki yang di atas atap tadi tidak boleh menikahi istri lelaki yang jatuh tadi, karena wanita itu sudah menjadi tuannya.”


Sampai sini Harun al-Rasyid yang saat itu hadir tidak bisa menyembunyikan rasa takjubnya terhadap kecerdasan Imam Syafi`i. Ia pun berkata, “Kamu telah menjelaskan dan penjelasanmu sangat bagus. Kamu telah menjelaskan dengan lisanmu, dan lisanmu sangat fasih. Kamu telah memberikan pencerahan, dan pencerahanmu sangat mengena.”


Lalu Imam Syafi`i menjawab, “Semoga Allah memanjangkan umurmu wahai Khalifah. Saya hendak memberikan satu pertanyaan kepada para ulama ini. Jika mereka bisa menjawabnya maka aku bersyukur kepada Allah, dan jika mereka tidak bisa menjawabnya maka aku meminta kepadamu agar melindungiku dari keburukan mereka.”


Harun al-Rasyid menjawab, “Kamu akan mendapatkan apa yang kamu mau. Silahkan ajukan pertanyaan sesukamu!”


Imam Syafi`i berkata, “Seorang lelaki mati dan meninggalkan harta sebanyak 600 dirham. Dan adik kandungnya yang wanita hanya mendapatkan satu dirham dari harta warisan itu. Bagaimana ini bisa terjadi?”


Para ulama tersebut saling melihat satu sama lain dan tidak ada yang bisa menjawab pertanyaan tadi. Setelah melihat waktu yang lama dalam diam, Harun al-Rasyid memintanya untuk memberikan jawaban.


Imam Syafi`i menjawab, “Lelaki ini mati meninggalkan dua orang anak perempuan, seorang ibu, seorang istri, dua belas saudara kandung dan satu orang adik kandung perempuan. Dua anak perempuan ini mendapatkan 2/3 harta yaitu 400 dirham. Ibunya mendapatkan 1/6 harta yaitu 100 dirham. Istrinya mendapatkan 1/8 harta yaitu 75 dirham. Sisanya adalah 25 dirham, 12 orang lelaki itu mendapatkan dua kali bagian perempuan, maka mereka mendapatkan 24 dirham. Maka sisanya hanya satu dirham diberikan kepada adik kandung perempuan itu.”


Maka Harun al-Rasyid tersenyum dan memberinya hadian seribu dirham. Kemudian Imam Syafi`i menerimanya dan membagikannya kepada para pembantu di istana.


Semoga Allah merahmati Imam Syafi`i dan mengumpulkannya bersama para orang saleh di surga kelak. Amin.







Senin, 16 Februari 2015

Sebab Kucing Yang Basah

Syeikh Asy-Syibily ditanya setelah beliau meninggal tentang keadaan dirinya, di dalam mimpi (seseorang),

lalu beliau berkata, ''Allah berfirman kepadaku: Hai Abu bakar, tahukah engkau mengapa Aku mengampunimu?"

Aku berkata, ''Sebab amal sholehku''
Allah berfirman: ''Bukan''

Aku berkata, ''Sebab keikhlasan ibadah-ibadahku''
Allah berfirman: ''Bukan''

Aku berkata, ''Sebab hajiku, puasaku, dan sholatku''
Allah berfirman: ''Bukan''

Aku berkata, ''Sebab hijrahku ke orang-orang sholeh dan menuntut ilmu''
Allah berfirman: ''Bukan''

Aku berkata, ''Wahai Tuhanku, jadi sebab apa?
Maka Allah ta'ala berfirman: ''Ingatkah ketika engkau berjalan di gerbang kota Baghdad, lalu engkau menemukan seekor kucing kecil, yang sungguh hawa dingin telah membuatnya lemah, dan ia terpojok karena sangat dinginnya. Lalu engkau mengambilnya karna rasa sayang kepada kucing itu dan memasukannya di jubahmu sebagai perlindungan kepada kucing itu ?"

Maka aku berkata, ''Ya''
Lalu Allah berfirman: ''Sebab rasa sayangmu kepada kucing itulah, maka Aku menyayangimu''






Sabtu, 14 Februari 2015

Seandainya Kalian Tahu Keistimewaan al Azhar

Shaikh Jamal Farouk Ad-Daqqaq Al-Hasany. Seorang ulama spesialis ilmu qiraat, yang telah lebih dari 25 kali mengkhatamkan 10 Qiraah Al-Quran kepada shaikh Abdul Hakim. Dan seorang ulama spesialis Ilmu Kalam/Tauhid. Dan yang lebih dari itu, nasab beliau berujung kepada sayyidina Hasan ra.


Satu tahun silam di Dar El-Ifta, beliau pernah berkata:

"Seandainya kalian tahu akan keistimewaan Masjid Al-Azhar, kalian akan berbondong-bondong untuk memasukinya, sekalipun dikenakan tiket Le 1000 (+/- Rp 2juta)."

Kami pun penasaran. Kemudian, kami bertanya - dengan sedikit memaksa - kepada beliau:

"Apa keistimewaannya wahai shaikh..???"

Pertanyaan itu pun kami ulang-ulang, sampai kemudian beliau menjawab: "Tempat shaikh Ahmad Dardir mengimami salat."

Salah satu dari kami pun bertanya lagi: "Di mana letaknya wahai shaikh...?"

Salah seorang teman dari Aljazair menjawab: "Di tempat shaikh Thaha Rayyan memberikan pengajian..."

Shaikh Jamal Farouq menjawab: "Iya, di sana. Dan shaikh Thaha Rayyan itu seorang yang alim dan dekat ke derajat wali..."

Dan kami pun saling berbisik dg tersenyum: "لا يعرف الولي إلا الولي"

Kemudian, beliau langsung meninggalkan kami, karena kelas tauhid kitab "Syarh shaikh Abdussalam atas Jauharat Tauhid" telah selesai untuk hari itu.

===========================
Semoga Allah swt. selalu menganugerahi beliau kesehatan dan keistaqahaman, serta kekuatan untuk menjalankan amanah sebagai Dekan Fakultas Dakwah - Univ. Al-Azhar. Allahumma Amien. Alfatihah.

Terlebih kita semua, semoga mendapatkan berkah, hidayah, dan petunjuk jalan Allah swt. melalui Rasulullah saw. dan keluarganya ra., serta para sahabatnya ra. Allahumma amien.
وصلى الله على سيدنا محمد، وعلى آله وصحبه وسلم تسليما كثيرا

Ust. Azka Fuady
--------
Baru saja beliau, Dr. Jamal Faruq, ditunjuk menjadi Dekan Fak. Dakwah oleh pihak Rektor dan Grand Syekh al-Azhar. Semoga kemanfaatan semakin melimpah ruah. Amiin


Selama Hidup Tidak Mengqodho Shalat

Setelah proyek pembangunan Masjid Bayazid atau The The Beyazidiye Camii di Istanbul yang dibangun pada masa Sultan Bayazid ll tahun 1506, maka akan dilaksanakan peresmiannya dengan melaksanakan shalat berjamaah perdana di masjid ini, peresmian yang dihadiri oleh Sultan Bayazid ll dan seluruh warga setempat. Setelah semua hadir, siap melaksanakan shalat, semua bertanya-tanya siapa yang akan menjadi Imam sholat, apakah Mufti? Sheikhul Islam? Imam Masjid baru? Atau salah satu Ulama besar yang hadir? Mereka semua saling menatap satu sama lain.


Tiba-tiba, Imam Masjid baru itu maju dan berkata, “Silahkan maju ke depan untuk menjadi Imam shalat siapa yang merasa dirinya tidak pernah mengqadha shalat fardhu selama hidupnya”. Dengan bahasa lebih sederhana siapa yang tidak pernah meninggalkan shalat pada waktunya, silahkan maju menjadi Imam.

Semua hadirin terkejut mendengar kata-kata imam Masjid, mereka saling menatap, yang di saf depan melihat kebelakang, yang belakang melihat ke depan, namun tidak ada yang maju, setelah beberapa menit sunyi senyap, tiba-tiba terlihat Sultan Bayazid ll maju dengan tenang dan khusyu, beliaupun bertakbir dan diikuti jamaah, jadilah Sultan Bayazid ll sebagai Imam shalat jamaah perdana di masjid itu.


Ya, Sultan Bayazid ll terkenal tidak pernah meninggalkan shalat apabila waktu sudah tiba, dimanapun berada dan kapanpun, makanya beliau disebut oleh rakyat Turki pada masa itu sebagai Sultan Wali. Rahimahullah.









oleh: Ust Saief Alemdar
Ada yang komentar begini, “ah, cerita ente tentang Sultan Bayazid ll yang tidak pernah sholat seumur hidup kecuali pada waktunya sangat tidak mungkin, itu paling juga pencitraan. Dia kan sering pergi perang ke Eropa, atau Persia, pasti sekali atau dua kali ketinggalan sholat dan harus mengqadhanya”.

Ada manusia seperti ini, yang selalu menjadikan dirinya standar bagi orang lain, bagi semua orang. Ada orang seumur hidup bisa sholat tepat waktu tidak percaya, karena mungkin dia membuat dirinya standar, yang terkadang sibuk atau bahkan lupa sholat tepat waktu.

Bukankah dengan posisinya sebagai Raja lebih mudah melaksanakan shalat, lagi rapat dia bisa pause untuk shalat, karena dia yang pimpin, yang mungkin bagi peserta rapat tidak berani karena dia bawahan. Musim dingin, tinggal suruh dayang-dayang panasin air buat wudhu. Justru karena dia Raja malah lebih memudahkan dia untuk melaksanakan kewajiban demikian, disamping kewajiban, itu juga kebutuhan, Raja yang besar itu tidak hanya butuh tentara kuat, tapi juga butuh sandaran pada Yang Maha Kuat.

Kalau ku ceritakan ada orang sedekah pada hari jumat sebesar 50 juta pasti kamu tertawa dan menertawakan, itu karena kamu yang gajinya 1 juta sebulan, bisa sedekah 5000 rupiah setiap jumat sudah terasa besar. Tapi mereka yang incomenya 10 Miliar per minggu, 50 juta kecil.

Jangan melulu menjadikan diri kita standar kemanusiaan, kita manusia, mereka juga manusia, tapi bisa jadi mereka punya semangat yang tidak kita miliki.




Sebuah Tulisan Yang Menjelekkan Islam

Suatu ketika, Sheikh Mutawali Sha’rawy rahimahullah ditanya tentang pendapat beliau terkait tulisan yang menjelek-jelekkan Islam yang pernah tersebar pada awal tahun 1990-an, beliau menjawab,


“Saya belum membacanya, dan tidak akan membacanya”.

“Bagaimana anda bersikap demikian, sheikh? Padahal media sedang meributkan hal itu?”

Beliau menjawab, “Tidakkah kamu membaca Firman Allah dalam surat Annisa ayat 140? Kemudian sheikh Sha’rawy membacakan ayat tersebut.

”Dan sungguh, Allah telah menurunkan ketentuan kepadamu di dalam Al Quran, bahwa apabila kamu mendengar ayat-ayat Allah diingkari dan diperolok-olokkan (oleh orang-orang kafir), maka janganlah kamu duduk bersama mereka, sebelum mereka memasuki pembicaraan yang lain. Karena (kalau kamu tetap duduk dengan mereka), tentulah kamu serupa dengan mereka. Sesungguhnya Allah akan mengumpulkan semua orang-orang munafik dan orang-orang kafir di neraka Jahanam”.

Kalau kita sering membaca Sirah Nabawiyyah, pasti kita akan tahu bahwa selama periode Mekkah dan Madinah banyak sekali syair-syair yang dibuat oleh kafir Qurays yang berisi penghinaan terhadap Rasulullah dan para Sahabat Rasulullah, bahkan sebelum perang Badar dan Uhud dimulai, mereka saling berperang syair lebih dahulu, sebelum perang dengan pedang berkecamuk, perang dengan lisan dimulai sebagai pemanasan.

Tapi, tidak ada satupun buku sejarah yang menukilkan kepada kita sampai hari ini bagaimana bentuk syair-syair penghinaan dan ejekan tersebut, mulai dari dari Sirah Nabawiyyah yang ditulis Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, sampai buku-buku kumpulan syair jahiliyah dan Islamiyyah tidak ada satupun yang menukilkan syair hinaan tersebut, akhirnya sekarang hilang. Kenapa? Karena memang mereka ignore terhadap hal-hal demikian, tidak dibesar-besarkan.

Amirul Mukminin Umar bin Khattab radhiallahu ‘anhu pernah berpesan, “Padamkanlah opini negatif dengan mendiamkannya, jangan disebarkan dimana-mana, sehingga orang-orang yang sakit jiwa tidak ikut-ikutan menyebarkannya”.




Wallahu A'lam.

Bermimpi Rasullullah Menyeberang Terusan Suez

Ketika Semenanjung Sinai dirampas oleh Israel pada tahun 1967 atas perang Sinai. Mesir berturut-turut mengalami kekalahan perang hingga pada puncaknya, Israel berhasil menduduki Terusan Suez. Tahun 1973, Presiden Anwar Sadat merencanakan mengambil alih kembali Terusan Suez dengan menyeberanginya meruntuhkan tembok Israel.

Namun Sadat belum mendapatkan momen tepat untuk itu. Mengingat peralatan tempur lawan lebih tangguh. Kekuatan Mesir itu bangkit ketika mendapat kabar dari Syekh Abdul Halim Mahmud mengenai mimpi beliau bertemu Rasulullah shallallahu alaihi wasallam yang menyeberang Terusan Suez dan diikuti oleh bala tentara Mesir.

“Segera ambil keputusan perang” kata Grand Syekh al-Azhar tersebut

“Bagaimana mungkin?”

“Karena kita akan menang”

“Apa alasannya?”

“Saya bermimpi melihat Rasulullah menyeberang Terusan Suez dan bala tentara kita berada dibelakangnya”

Anwar Sadat tidak ambil lama. Ia segera memutuskan untuk perang. Meski Ramadlan, pasukan tetap harus berpuasa dan bertakwa kepada Allah. Tepat di hari kesepuluh (10) Ramadlan, tembok pertahanan Israel runtuh dihantam kekuatan militer Mesir.


note: Film dokumenter yang mengabadikannya





-Dr. Ahmad Umar Hasyim.

Jangan Baca Ihya Ulumuddin Sendirian

"Jangan baca Ihya Ulumuddin sendirian"

demikian pesan yang diterima Syaikh Mustafha Maraghi (Syaikh al-Azhar dekade 1920-an dan Ahli Tafsir terkemuka di masanya) dari Syaikh Muhammad Abduh, pesan tersebut beliau terima saat berpamitan dan memohon doa restu gurunya Syaikh Muhammad Abduh, untuk menjalankan amanah baru sebagai Qodhi (hakim) di negara Sudan.

Saat ditanya alasan tidak bolehnya menelaah kitab Ihya Ulumuddin karya Imam al-Ghazali seorang diri, Syaikh Muhammad Abduh menyebut satu persatu Ulama dan Cendekiawan Muslim berikut dengan kelebihannya masing-masing, dari Ibnu Sina, al-Farabi, sampai Ibnu Rusyd.

"Lantas bagaimana kedudukan Abu Hamid al-Ghazali diantara Ulama dan Cendekiawan yang guru sebutkan tadi?" tanya al-Maraghi muda.

Syaikh Muhammad Abduh kemudian menjawab,

"Kelebihan-kelebihan yang ada dalam pada para Ulama dan Cendekiawan yang saya sebutkan tadi terkumpul pada sesosok Imam al-Ghazali (rojulun fii daairotil al-ma'arif)."

Syaikh Muhammad Abduh seolah ingin menegaskan, membaca karya seorang ulama ensiklopedis yang menguasai lintas disiplin ilmu sekaliber Imam al-Ghazali, harus dibarengi dengan wawasan keilmuan yang luas, atau menela'ah bersama-sama dengan satu kumpulan orang yang masing-masing pakar pada disiplin ilmu-ilmu tertentu.


(dinukil dan diterjemahkan dari buku kecil terbitan Majlis A'la Kementrian Wakaf Mesir, seharga satu pound)







Ust. Muhammad Rifqi Arriza

Maulid Nabi di Syam Suriah

Oleh ust. Saief Alemdar

Di saat orang memperdebatkan halal haram memperingati Maulid Nabawi tanggal 12 Rabiul Awal, kami memperingatinya di Jami Abu Nour dengan membaca “Syamail Rasulullah” yang dikumpulkan dari Sahih Muslim oleh ustazuna sheikh Bassam Hamzawy hafizahullah, dihadiri oleh “Atsar Rasulillah” yaitu berupa rambut beliau, dan puluhan Ulama-ulama besar negeri Syam, seperti sheikhna Prof. Nuruddin Itr, ustazuna Prof. Tawfik Ramdhan Al Buty, sheikhul qurra syam sheikh Syukry Luhafy, ustazuna Dr. Sharief Shawwaf, ustazuna mufti Damascus sheikh Adnan Afyouny, ustazuna alfaraidhy sheikh Bashir Mufassy, ustazuna Prof. Khaer Fatma, ustazuna Prof. Wahby Seleyman, ustazuna Dr. Abdussalam Rajeh dan lainnya hafizahumullah.

Seorang “muhsinin” membiayai percetakan kitab syamail tersebut untuk dibagikan kepada para hadirin, majlis tersebut “diserang” oleh ribuan pecinta Rasulullah seperti orang-orang kehausan melihat air dingin, semuanya berharap bisa menjadi kekasih Rasulullah, semuanya berharap doa dan harapan mereka bisa dikabulkan Allah pada majlis ini.

Kalau ada riwayat mengatakan “zikrus shalihin tunazzilur arahmah”, menyebut nama orang-orang shaleh akan menurunkan rahmat Allah, maka Nabi Muhammad adalah pemuka dan penghulu orang-orang shaleh, maka Insyallah sepanjang majlis itu kami menyebut ratusan kali nama Rasulullah diiringi shalawat dan ratusan kali nama Sahabat serta perawi hadis lainnya rahimahumullah, semoga itu menjadi “penjemput” berkah bagi negeri Syam yang sedang bersimbah darah.

Majlis pembacaan syamail muhammaddiyah dimulai selepas ashar dan berakhir sampai azan isya berkumandang, masjid yang sesak dipenuhi hamba-hamba Allah terasa begitu tenang, semua berharap setelah pembacaan itu berakhir bisa segera antri untuk mencium rambut Rasulullah.

Alhamdulillahillazi bini’matihi tatimmus shalihat…majlis diakhiri dengan “ijazah” hadis syamail muhammaddiyah oleh ustazuna Sheikh Bassam Hamzawy.

Kami memperingati Maulid Nabawy hanya untuk mengingat kembali bagaimana beliau hidup dan dengan itu kami berusaha memperbaharui cinta kami kepada beliau, yang sering kali ternodai oleh kemunafikan kehidupan dunia, bukankah beliau yang bilang bahwa cinta Rasul adalah jalan pintas menuju Surga…yang kami inginkan bukan sekedar Surga, tapi juga kenikmatan berjumpa dengannya kelak.

Allahumma shalli ala sayyidina Muhammad wa ala alihi wa sahbihi wa sallim taslima…shalatan taftahu lana abwabar ridho wal taisir, wa tughliq biha abwabas syarri wat ta’sir…anta maulana fani’mal maula wa ni’man nashir

Al Madad fil Masyhad: Sebut Namaku, dan Berjalanlah di atas Air

Tidak dipungkiri bahwa keagungan Nabi SAW melebihi segalanya, termasuk keagungan para Anbiya’ sebelumnya dan para Auliya sesudahnya. Rasulullah adalah batangnya (ashl ) sedang mereka semua adalah cabang–cabangnya (far’u).

“Wakulluhum min Rasulillahi multamisun, ghorfan minal bahhri au rashfan minad diyami.

Mereka semua meneguk secakup air dari lautan kemuliaan Rasulullah. Atau mereka menyesap tetes–tetes air dari hujan kemuliyaannya,  Al Bushiriy.

Maka barangsiapa yang memperingati kemuliyaan para auliya, maka sejatinya mereka memperingati kemuliaan Rasulullah. Barangsiapa yang memuliakan para auliya maka sejatinya mereka memuliakan Rasulullah SAW.

Di dalam mukaddimah Jami’ Karomatil Auliya, Al Imam An Nabhaniy menjelaskan banyak hal tentang hal ini. Diantara yang beliau tulis di sana bahwa karomah para waliy adalah bagian dari mukjizat Nabi.

Dengan munculnya keramat–keramat itu, maka umat sesudah zaman kenabian menjadi faham dan meyakini bahwa para auliya itu ada dalam agama yang haq. Berarti pembawa risalah dalam agama yang mereka bela itu (yakni Rasulullah) adalah haq pula.

Semakin besar seseorang memuliakan atau memperingati para auliya maka maknanya semakin besar pula dia memuliakan dan memperingati nabinya. Seseorang yang bersemangat membaca manaqib atau memperingati Haul Syaikh Abdulqadir al Jilniy sebenarnya diapun sedang bersemangat dalam menghormati Baginda Nabi SAW.

Namun kemudian menjadi isykal jika pada saat yang sama dia ‘memandang remeh’ peringatan Nabi atau pembacaan maulid beliau. Contoh sederhana, jika dia membaca manaqib Syaikh dia akan menyembelih ayam jantan dan dibuat shadaqah. Tetapi saat membaca maulid Nabi dia hanya bersedekah krupuk.

Jika dia berbuat demikian karena dianggapnya maulid Nabi ‘cuma pantasnya’ dishadaqahi krupuk maka ini adalah perendahan rutbah Rasulullah SAW. Wal ‘iyadhu billah. Namun jika dia melakukannya disebabkan dominasi ‘rasa Syaikh’ di dalam hatinya maka hal seperti itu biasa saja.
Sebenarnya dia meyakini kemuliyaan Nabi jauh di atas kemuliyaan Syaikh. Namun di dalam hatinya pengaruh Syaikh telah memenuhi seluruh sisi-sisinya, fana’ itu menyebab kemuliaan yang lain tidak lagi terasa olehnya.

Saya kesulitan untuk memilih kalimat yang tepat di dalam permasalahan ini. Tetapi jika dapat di rumuskan lebih sederhana, mungkin saya akan memilih kalimat berikut ini:

“Didalam keyakinannya tetap mengetahui bahwa kemuliaan Nabi SAW ada diatas kemuliaan Waliy. Namun karena keterbatasan kemampuan hatinya dalam menangkap keagungan-keagungan, maka baru pada taraf kemuliaan Waliy saja yang bisa benar-benar dia rasakan, sehingga mengesankan dia terlihat begitu bersemangat di dalam memperingati Waliy melebihi semangat memperingati Nabi SAW“

Para hukama menyebut “AL MADAD FIL MASYHAD“ turunnya pertolongan, keberkahan berbanding lurus dengan kesiapan hati dan keyakinannya. Banyak kisah yang berhubungan dengan hal ini.
Seperti kisah seorang murid yang diperintahkan menyeberangi lautan oleh Syaikhnya dengan cara berjalan kaki di atasnya. Kata Syaikh:

“Wahai anakku, sebutkan namaku dan berjalanlah kamu di atas air menyeberangi laut.“
Murid tersebut menuruti perintah Syaikhnya. Begitu nama beliau ia sebut maka ia sanggup berjalan di atas air tanpa tenggelam. Namun mendadak dia dalam hatinya berfikir :

“Bagaimana aku ini? Bukankah Alloh Azza Wajalla yang lebih tepat untuk aku ucapkan? Karena Allah adalah Tuhan sedangkan Syaikh ku hanyalah seorang manusia?“

Begitu terbersit di dalam hatinya fikiran tersebut maka saat itu juga tubuhnya jatuh tenggelam ke dalam laut. Dia terjebak dalam ombak, dan tenggelam nyaris celaka. Sampai kemudian dia teringat Syaikhnya dan diapun berteriak–teriak memanggil nama Syaikhnya.

“Wahai guruku, wahai Fulan …!“ Teriaknya memanggil. Dan tak menunggu lama, muncul Sang Syaikh berjalan diatas laut dan mengulurkan tangan dan menolong dirinya.

“Sudah aku katakan, sebutkan namaku saja, jangan yang lain. Engkau itu hanya mengenal diriku melebihi kenalmu kepada Tuhanmu

Kisah ini memberi kefahaman bahwa bukan berarti Syaikh itu lebih mulia daripada Allah Ta’ala. 

Namun masyhad dalam hati murid tersebut hanya mengenal Syaikhnya dari pada Tuhannya, sehingga menyebut nama Syaikh bagi dia itu lebih bermanfaat dari pada menyebut nama Rabbnya.

Suatu saat Al Habib Abdurrahman bin Syaikh Al Athas berkata :
“Bagi diriku al Habib Hasan as Syathiriy itu lebih agung dibanding Syaikh Abdulqadir al Jaylaniy. Karena jika Syaikh Abdulqadir itu kemuliaannya bagiku hanya sebatas yang pernah aku baca saja dari buku–buku, namun Al Habib Hasan itu kemuliaannya bagiku langsung aku saksikan dengan kedua belah mataku.“

Kesimpulan terahir adalah Kemuliaan Nabi diatas Kemuliaan Waliy . Tetapi masyhad di dalam hati seseorang bisa jadi membuatnya lain. Bukan berarti merendahkan kemuliaan Nabi.







Wallahu a’lam

Ust. Muhajir Madad Salim

Ayahanda Nabi Menolak Rayuan Wanita

"Segala sesuatu yang diharamkan, aku bersedia mati untuk menjauhinya. Sedangkan yang telah dihalalkan maka aku harus mengetahui lebih jelas tentangnya.

Bagaimana aku akan memenuhi permintaanmu yang tercela itu padahal orang yang mulia akan menjaga harga diri dan agamanya."

Kata-kata di atas diucapkan oleh Sayyid Abdullah, ayah baginda Nabi Muhammad, saat menolak rayuan seorang wanita yang mengajaknya melakukan perbuatan tercela.


Semoga kita dimudahkan Allah dalam menjauhi semua larangan-Nya.


*Dikutip dari buku LENTERA KEGELAPAN, tamatan Lirboyo 2010 hlm 18

Kamis, 12 Februari 2015

Takwanya Itu Di Sini

قال تعالى :
{هُوَ أَعلَمُ بِمَنِ اتّقَى}
Allah berfirman: "Dia lebih tahu tentang orang yang bertakwa."

Salah satu pesan di balik informasi ayat di atas adalah bahwa urusan hati, batin, dlamir, atau kalbu manusia adalah urusan Allah. Allah yang tahu hakikatnya, bukan manusia. Karena itu maka jauhilah kebiasaan menilai tingkat keimanan dan ketakwaan seseorang. Hal ini bisa jadi menjerumuskan diri kita pada dua dosa besar: merasa diri lebih baik dan menghina serta merendahkan orang lain. Dua virus ini bisa menjalar dan beranak pinakkan dosa-dosa lainnya.

Jubah dan sorban bukanlah dalil pasti keimanan dan ketakwaan sebagaimana jenggot dan dahi hitam juga bukan indikator resmi tingginya keberagamaan seseorang. Bukankah orang kafir di tanah Arab banyak juga yang berjubah dan bersorban? Bukankah orang-orang atheis pun banyak yang berjenggot? Rasulullah bersabda: "takwa itu di sini," sambil mengarahkan jari telunjuknya ke dadanya. Ya, takwa adalah urusan hati. Hati adalah urusan Allah.

Kalaulah indikasi lahiriah seseorang itu menyalahi aturan agama, hal itu bukan untuk dicaci, dihina dan disebarkan kesalahan serta dosanya, melainkan agar didoakan dan dibimbing untuk menjadikan dia kembali ke jalan kebaikan. Orang yang dihina sangat mungkin suatu saat bertaubat dan kemudian menjadi kekasih Allah, sementara orang yang terlanjur melontarkan hinaan kemanakah ia akan menarik kembali dan bagaimanakah caranya melakukan permintaan maaf?






Salam, AIM

Pembeli Khamr Yang Dishalati Khalifah

Ahli Maksiat?

Kisah berikut cukup populer. Dalam sebuah buku harian, Sultan Murad IV (1612-1640) berkisah tentang kekalutan hatinya di suatu malam. Rasa itu tidak tertahankan, sehingga dia merasa perlu memanggil kepala pengawal dan memberitahukan apa yang tengah dia rasakan.

“Mari kita keluar sejenak,” ajak Sultan yang diiyakan oleh kepala pengawal itu. Di antara kebiasaan Sultan adalah blusukan di malam hari dengan cara menyamar.


Mereka berdua lantas pergi, hingga tiba di sebuah lorong sempit. Tiba-tiba, ada mayat laki-laki tergeletak di tanah. Sultan memeriksa lelaki itu. Sudah meninggal. Heran, orang-orang yang melintas tidak ada yang peduli. Juga, tidak ada yang mengenali Sultan. Makanya, ketika Sultan memanggil orang-orang yang lalu lalang di situ, mereka malah balik bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”

Sultan menjawab, “Mengapa orang ini meninggal tetapi tidak satu pun dari kalian mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Di mana keluarganya?”

Mereka berujar, “Ini orang zindik, suka menenggak minuman keras, dan berzina.”

Sultan menimpali, “Tetapi bukankah dia termasuk umat Muhammad? Ayo angkat jenazahnya, dan kita bawa ke rumahnya!”

Mereka manut. Suasana mengharukan segera terjadi ketika jenazah tiba di rumahnya. Melihat suami meninggal, istrinya langsung menangis. Tetapi, orang-orang yang membawa jenazah tadi bergegas pergi. Hanya tinggal Sultan dan kepala pengawalnya yang berada di situ.

Dalam suasana demikian, sambil menangis, wanita itu berucap kepada jenazah suaminya, “Semoga Allah merahmatimu, wahai wali Allah! Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang saleh.”

Sultan Murad kaget, dan berkata, “Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah, sementara orang-orang bilang tentang dia begini dan begitu, sampai mereka juga tidak peduli dengan kematiannya.”

Wanita itu segera menjawab, “Aku sudah menduga hal itu. Sungguh, suamiku setiap malam pergi ke penjual khamar. Dia lantas membeli seberapa banyak yang dia bisa beli, kemudian membawanya ke rumah dan menumpahkan seluruh khamar ke toilet, dan berkata, ‘Semoga aku dapat meringankan keburukan khamar dari kaum Muslimin’.”

“Suamiku juga selalu pergi kepada para zaniah/pelacur, memberinya uang, dan berkata, ‘Malam ini kau kubayar dan jangan kau buka pintu rumahmu untuk melacur hingga pagi’. Kemudian suamiku kembali ke rumah, dan berujar, ‘Semoga dengan itu aku dapat meringankan keburukan pelacur dari pemuda-pemuda Muslim malam ini’.”

“Sebagian orang menyaksikan dan mengetahui bahwa suamiku membeli khamar, dan masuk rumah pelacur. Lantas, mereka membicarakan suamiku dengan keburukan. Pernah suatu hari aku berkata pada suamiku, ‘Seandainya engkau mati, tidak akan ada orang yang bersedia memandikanmu, menshalatkanmu, dan menguburkanmu’. Suamiku tersenyum, lalu menjawab, ‘Jangan khawatir, Sayangku! Pemimpin kaum Muslimin yang akan menshalatkanku beserta para ulama dan pembesar negeri lainnya’.”

Tiba-tiba mata Sultan basah. Dia menangis. “Suamimu benar. Demi Allah aku adalah Sultan Murad Ar-Rabi, Sultan Turki Utsmani. Dan, besok kami akan memandikan suamimu, menshalatkannya, dan menguburkannya.”

Maha Suci Allah! Betapa sering kita menilai orang hanya dengan melihat penampilan luarnya, bahkan sekadar dari omongan orang. Sendainya kita mampu bersikap bijak dengan memandang dan menilai orang lain dari kebersihan hatinya, niscaya lisan kita akan kelu dari menceritakan keburukan orang lain.

Kepada Allah jua kita harapkan bimbingan dan pertolongan.







M. Husnaini

Saya Akan Menulis Burdah

Saat itu saya sedang ziarah ke Madinah, tepatnya di makam Rasulullah. Ketika saya keluar lewat pintu Jibril, ada suara salah seorang yang memanggilku dan ia mencoba berbicara kepadaku dan berceritera bahwa ia bermimpi bertemu Rasulullah dan beliau memberi kabar kepada orang tersebut bahwa saya akan menulis qashidah untuk beliau. Ia berbicara sungguh-sungguh. “Sumpah,” ucapnya untuk meyakinkanku

Kulanjutkan langkah serta membawa husnudzan kepada orang yang membawa kabar tadi. Hal senada terualang kembali, tepatnya saat saya tiba di Kairo. Saya bertemu dengan seseorang yang juga menceritakan mimpinya bertemu Rasulullah. Apa yang ia ceritakan kepadaku persis mimpi orang yang saya temui di Madinah. Yaitu, saya hendak menulis burdah untuk Rasulullah.

Dari mimpi orang yang berulang kali dan dengan mimpi yang sama tersebut. Saya membatin, “Sesuatu yang berulang-ulang, tidak memberi saya alasan kecuali saya memang harus menulis burdah seperti yang orang-orang ceritakan dari mimpinya itu,”

Ketika ada kesempatan menunaikan ibadah haji, kota yang saya tuju pertama kali adalah Madinah, kota suci tempat Rasulullah singgah. Dalam haji kali ini akan saya tunaikan mimpi tersebut dengan mulai menulis burdah. Dan kelak saat tiba, waktu akan saya habiskan lebih banyak di Madinah. Di tempat seseorang yang akan saya tulis burdah tentangnya.

Di pesawat, saya memulai menulis mukadimah dari burdah tersebut.

"Cahaya mataku terbit di Dzi Salam
O, Juru Mudi, lekas sampaikanlah aku ke Haram

Hati tergesa-gesa ingin menemui sebaik-baiknya seluruh makhluk
Tempat cahaya, tauhid dan kemulyaan tumbuh

Cintanya menghulu-hilir dalam darahku
Dan ingatannya hidup dalam hati dan di atas mulutku"

Saat pesawat landing dan saya turun dari pesawat, saya mendapati mobil dan orang penting yang nampak dari pakaiannya. Ia bertanya, “dimana Dr. Ahmad Umar Hasyim?”

“Iya, ini saya,” jawabku.

“Anda dalam jemputan sebagai tamu Khadim Haramain,” katanya.

Saya bingung, padahal saya berangkat haji bersama rombongan dan atas biaya sendiri. Kok ini tiba-tiba ada mobil dan petugas menjemput yang katanya saya datang atas undangan.

“Loh, ini saya bersama rombongan,” jawabku beralasan.

“Anda dan rombongan menjadi tamu Khadim Haramain,”

Padahal, sebelumnya saya tidak memberi tahu siapapun, baik kepada penanggung jawab maupun petugas haji setempat kalau tahun ini saya berangkat haji. Akan tetapi saya mengerti dan yakin bahwa hal ini salah satunya berkat ‘Nahjul Burdah’ yang saya tulis dan kesinambungnya cinta kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.



Dr. Ahmad Umar Hasyim. Anggota Dewan Senior al-Azhar yang dijuluki sebagai ‘Amirul Mu’minin Fil Hadis’

Semua Manusia itu Beriman

"Orang-orang awam yg terpengaruh oleh jalan cinta Maulana Rumi menganggap semua manusia di jagad raya ini adalah mukmin. Orang-orang awam yang terpengaruh jalan ghuluw Syaikh ibn Taimiyyah menganggap seluruh umat ini kafir. Bagi orang awam, terlalu rumit memahami jalan tengah karena itu membutuhkan ilmu, tidak sekedar fanatisme belaka."  
---- Ust. Muhajir Madad Salim

Maulana Rumi adalah seorang humanis. Pendiri tarekat para penari darwisy, dikenal sebagai tarekat Maulawiyyah. Rumi memandang seluruh umat manusia dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih sayang, bahkan terhadap seluruh keburukan-keburukan yang ada dalam diri mereka.

Dalam ketaatan serta kejahatan mereka.

Keindahan dan keburukan mereka.

Keimanan dan kekafiran mereka. Rumi memandang itu semua adalah ‘citra‘ sejati Allah. Kalimat beliau yang terkenal menunjukkan pandangannya tentang hal itu: “Sesungguhnya kejahatan adalah salah satu bentuk keagungan Allah. Kejahatan adalah bagian dari kesempurnaan Allah. Kesempurnaan Allah akan terlihat dalam dalam ciptaan–ciptaanNya yang jelek, yang dilakukan oleh umat manusia.“

Untuk dapat memahami pemikiran yang sedemikian besar ini memerlukan sosok–sosok yang sempurna dalam penguasaan syari’ahnya. Perlu seseorang yang mengerti dan mampu membedakan antara bagian yang samar dari yang jelasnya. Seseorang mesti memahaminya dengan ‘syarah-syarah’ yang lurus sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyidina Abdurrahman Al Jammi.

Al Jammi mempunyai andil yang teramat besar untuk mendekatkan ‘pemahaman humanis‘ Rumi agar tidak disalahartikan terlalu jauh, sebagaimana kritik para cendekiawan terhadap ajaran Ar Rumi: “Kelompok sufi ini tidak begitu mengamalkan syariat agama. Bagi mereka, perasaan beragama itu yang penting. Perasaan beragama itu segala–galanya.“

Orang awam akan menangkap ini dengan pemahaman keawamman mereka. Syariat tidak lagi dibutuhkan, menurut mereka. Hanya cinta yang mengarahkan kepada hakekat, sebagaimana dalam Matsnawiy: “Aku [Tuhan] menginginkan hati yang hancur. Nyalakan api cinta dalam hati, dan campakkan kata-kata di dalamnya..”

Dan saat semua dianggap sama, dan baik buruk adalah citra Tuhan adanya, maka bagi mereka orang awam tidak ada lagi ada bedanya apakah umat ini beriman atau tidak. Hal sedemikian ini tentu bukan pemaknaan yang sebenarnya. Dan sebagaimana faham wahdatil wujud, selalu banyak pula juhala’us sufiyyah yang keliru memaknainya.

Kata para cendekiawan Ar Rumi hanya berusaha untuk membuat hati seseorang lebih merasakan cinta dalam beragamanya dan tidak mengenal putus asa dalam mengenal serta meyakini Tuhan.


Wallahu a’lam.

Rizki Itu Mencari

Sayyidina Abud-Darda', seorang sahabat, radhiyallahu anhu berkata :

إن الرزق ليطلب العبد كما يطلبه أجله

Sesungguhnya orang itu akan dicari oleh rizkinya, sebagaimana ia dicari oleh ajalnya.
رواه ابن حبان، روضة العقلاء


Rabu, 11 Februari 2015

Berdebatlah Dengan Singa Kebun Binatang

Ada yang bilang: "Wahai orang-orang cerdas, jangan berdebat dengan orang bodoh, karena orang-orang lain kebingungan membedakan yang mana sesungguhnya yang bodoh. Bisa-bisa banyak orang keliru menilai dirimulah yang bodoh."

Kutipan di atas itu benar, sayangnya di kalangan orang-orang bodoh tersebar juga nasehat senanda: "Wahai orang-orang yang bodoh, jangan berdebat dengan sesama orang bodoh, akan tampak jelas bahwa kalian sama-sama bodoh. Berdebatlah dengan orang cerdas, maka kamu bisa jadi dianggap cerdas juga jika orang cerdas itu mau melayani debatmu."

Nah, rupanya nasehat kedua inilah yang paling laku. Lihatlah di media-media yang sering dipertontonkan kepada kita, mereka yang tidak punya keahlian dimunculkan ke publik sementara mereka yang memiliki keahlian dibiarkan "duduk manis" dalam makna tidak diberikan kesempatan.

Pelawak dan penyanyi sudah menjadi penceramah, sementara kiai dan ustadz yang alim "dipaksa" menjadi pendengarnya. Akan lebih parah lagi jika kiai dan ustadz itu beralih profesi menjadi pelawak dan penyanyi ya. Saya ingat kata-kata almarhum KH. Zainuddin MZ: "Singa itu tempatnya di hutan. Maka ia menjadi raja hutan yang berwibawa dan titahnya menjadi tuntunan. Ketika singa berpindah tempat ke kebun binatang, ia tak lagi menjadi raja hutan, melainkan menjani tontonan lucu."

Dunia kita memang dunia unik. Hanya yang sadar dan waspada yang tetap berjalan di atas nilai kewajaran, kepantasan dan kebenaran.






Salam, AIM