Kamis, 12 Februari 2015

Pembeli Khamr Yang Dishalati Khalifah

Ahli Maksiat?

Kisah berikut cukup populer. Dalam sebuah buku harian, Sultan Murad IV (1612-1640) berkisah tentang kekalutan hatinya di suatu malam. Rasa itu tidak tertahankan, sehingga dia merasa perlu memanggil kepala pengawal dan memberitahukan apa yang tengah dia rasakan.

“Mari kita keluar sejenak,” ajak Sultan yang diiyakan oleh kepala pengawal itu. Di antara kebiasaan Sultan adalah blusukan di malam hari dengan cara menyamar.


Mereka berdua lantas pergi, hingga tiba di sebuah lorong sempit. Tiba-tiba, ada mayat laki-laki tergeletak di tanah. Sultan memeriksa lelaki itu. Sudah meninggal. Heran, orang-orang yang melintas tidak ada yang peduli. Juga, tidak ada yang mengenali Sultan. Makanya, ketika Sultan memanggil orang-orang yang lalu lalang di situ, mereka malah balik bertanya, “Apa yang engkau inginkan?”

Sultan menjawab, “Mengapa orang ini meninggal tetapi tidak satu pun dari kalian mau mengangkat jenazahnya? Siapa dia? Di mana keluarganya?”

Mereka berujar, “Ini orang zindik, suka menenggak minuman keras, dan berzina.”

Sultan menimpali, “Tetapi bukankah dia termasuk umat Muhammad? Ayo angkat jenazahnya, dan kita bawa ke rumahnya!”

Mereka manut. Suasana mengharukan segera terjadi ketika jenazah tiba di rumahnya. Melihat suami meninggal, istrinya langsung menangis. Tetapi, orang-orang yang membawa jenazah tadi bergegas pergi. Hanya tinggal Sultan dan kepala pengawalnya yang berada di situ.

Dalam suasana demikian, sambil menangis, wanita itu berucap kepada jenazah suaminya, “Semoga Allah merahmatimu, wahai wali Allah! Aku bersaksi bahwa engkau termasuk orang yang saleh.”

Sultan Murad kaget, dan berkata, “Bagaimana mungkin dia termasuk wali Allah, sementara orang-orang bilang tentang dia begini dan begitu, sampai mereka juga tidak peduli dengan kematiannya.”

Wanita itu segera menjawab, “Aku sudah menduga hal itu. Sungguh, suamiku setiap malam pergi ke penjual khamar. Dia lantas membeli seberapa banyak yang dia bisa beli, kemudian membawanya ke rumah dan menumpahkan seluruh khamar ke toilet, dan berkata, ‘Semoga aku dapat meringankan keburukan khamar dari kaum Muslimin’.”

“Suamiku juga selalu pergi kepada para zaniah/pelacur, memberinya uang, dan berkata, ‘Malam ini kau kubayar dan jangan kau buka pintu rumahmu untuk melacur hingga pagi’. Kemudian suamiku kembali ke rumah, dan berujar, ‘Semoga dengan itu aku dapat meringankan keburukan pelacur dari pemuda-pemuda Muslim malam ini’.”

“Sebagian orang menyaksikan dan mengetahui bahwa suamiku membeli khamar, dan masuk rumah pelacur. Lantas, mereka membicarakan suamiku dengan keburukan. Pernah suatu hari aku berkata pada suamiku, ‘Seandainya engkau mati, tidak akan ada orang yang bersedia memandikanmu, menshalatkanmu, dan menguburkanmu’. Suamiku tersenyum, lalu menjawab, ‘Jangan khawatir, Sayangku! Pemimpin kaum Muslimin yang akan menshalatkanku beserta para ulama dan pembesar negeri lainnya’.”

Tiba-tiba mata Sultan basah. Dia menangis. “Suamimu benar. Demi Allah aku adalah Sultan Murad Ar-Rabi, Sultan Turki Utsmani. Dan, besok kami akan memandikan suamimu, menshalatkannya, dan menguburkannya.”

Maha Suci Allah! Betapa sering kita menilai orang hanya dengan melihat penampilan luarnya, bahkan sekadar dari omongan orang. Sendainya kita mampu bersikap bijak dengan memandang dan menilai orang lain dari kebersihan hatinya, niscaya lisan kita akan kelu dari menceritakan keburukan orang lain.

Kepada Allah jua kita harapkan bimbingan dan pertolongan.







M. Husnaini