Rabu, 25 Februari 2015

Jejak Seteru Gus Nuril dan Habib Syech

Oleh: Zia Ul Haq

"Dan berdamai itu baik." [An-Nisa: 128]
Jumat malam, 20 Februari kemarin terjadi insiden kecil di suatu majlis maulid ibukota. Sosok KH Nuril Arifin Husein (Gus Nuril), pengasuh Pondok Pesantren Soko Tunggal Abdurrahman Wahid ‘diturunkan’ dari atas panggung ketika berceramah di Masjid As-Su’ada, Jl. Bekasi KM 18, Pulogadung, Jakarta Timur, dalam rangkaian acara maulid dan shalawat.

Selang beberapa jam, banyak netizen yang mengabarkan peristiwa ini di media sosial. Kemudian diunggahlah beberapa dokumentasi gambar momen pengajian itu di fanpage Nurul Habib, lalu disusul rekaman video insiden kecil tersebut di Youtube dengan judul "Ceramah Gus Nuril di Masjid Assu'ada Jatinegara Kaum-20 Feb 2015". Ramai juga postingan-postingan tanggapan dari berbagai pihak tentang kejadian ini, baik yang sekedar informatif, memihak, maupun menyayangkan.

Dari berbagai tanggapan khalayak itu, saya merasa risih karena tak sedikit yang bernada provokasi dari kedua belah pihak. Nah, tulisan ini hanyalah pandangan saya pribadi sebagai ‘penonton’ dan bukan simpatisan pihak manapun. Serta usulan bagaimana sebaiknya kita menyikapinya secara proporsional. Ya minimal bagi saya pribadi dan teman-teman sekalian.

Dalam video berdurasi hampir setengah jam tersebut, nampak Gus Nuril menaiki panggung dengan busana khasnya. Beliau duduk di tengah panggung menghadap jamaah. Di belakang beliau, berjajar tokoh-tokoh masyarakat, termasuk pembicara utama pada malam itu, yakni Habib Ali bin Husein Assegaf, pengasuh Majlis Ta’lim Nurul Habib. Nah, posisi Gus Nuril adalah sebagai pembicara ekstra yang diundang oleh ketua panitia, Muhammad Atthiq Murtadho, sebagaimana dikutip NU Online (judulnya; Kiai Pagar Nusa Alami Pengusiran Saat Ceramah Maulid Nabi).

Saat itu Gus Nuril mulai berceramah tentang pentingnya kesatuan bangsa dan penguatan kaum Ahlussunnah wal Jama’ah di Indonesia dengan bersemangat. Kemudian berbicara tentang bahaya disintegrasi bangsa yang diusung paham-paham impor dan keras, lalu mulai menyinggung masalah-masalah dinamika politik yang sedang hangat saat ini. Dan tak lupa, beliau juga menyampaikan hal-hal yang menurut saya masih sensitif dibicarakan di sebagian masyarakat kita, yakni wawasan pluralitas, etnis, dan politik. Apalagi bila disampaikan di hadapan masyarakat yang masih butuh proses untuk menangkap hal-hal semacam itu. Jelas bisa sangat sensitif.

Di menit ke 26:00, Habib Ali yang sedari tadi diam menyimak, mulai bersuara melalui mikrofon lain untuk menegur Gus Nuril yang dirasa berbicara terlalu jauh, melenceng dari tema tentang sejarah kehidupan Nabi Muhammad. Bahasa yang digunakan pun menurut saya cukup halus dan santun. Dari suara-suara yang terrekam, terdengar seruan-seruan takbir dan shalawat dari sekitar panggung. Seruan-seruan itu jelas menggambarkan ketidaksetujuan terhadap apa yang disampaikan Gus Nuril, atau malah terhadap sosok Gus Nuril sendiri. Sayangnya sorotan kamera tidak mengarah pada jamaah sehingga kita tidak bisa melihat bagaimana dan sejak kapan gelagat reaksi ‘mereka’ yang tidak terima.

Lalu Habib Ali meminta Gus Nuril untuk mengganti tema ceramahnya. Sebelum Gus Nuril menanggapi, seruan-seruan dari sebelah panggung makin ramai. Suasana menjadi tidak kondusif, maka Habib Ali mencoba menenangkan seruan-seruan itu. Gus Nuril nampak tenang sambil bersila dan tetap memegang mikrofon. Setelah seruan-seruan mereda, Habib Ali meminta Gus Nuril mengakhiri ceramahnya dan ‘istirahat’ saja. Melihat situasi demikian, Gus Nuril berinisiatif mengajak jamaah bershalawat, “Ya Nabi Salam ‘Alayka”, dan jamaahpun mengikuti.

Habib Ali memberi isyarat kepada operator sound system untuk menurunkan volume mikrofon Gus Nuril yang masih tetap melantunkan shalawat. Lalu Gus Nuril diantar turun oleh panitia dan Habib Ali mulai mengucap salam sebagai pembuka ceramahnya kepada jamaah. Tentang kejadian sebelum atau setelah rekaman video ini, saya tidak tahu. Meskipun ada beberapa laporan dari pengguna facebook dengan tendensi-tendensi tertentu, lebih baik kita simpan saja sebagai informasi tertutup.

Efek Domino

Peristiwa ini menunjukkan ketidakcocokan sebagian kalangan terhadap pandangan-pandangan Gus Nuril. Salah satu posting netizen yang pro-FPI jelas-jelas menggambarkan hal tersebut, judulnya "KYAI GEREJA NURIL ARIFIN GAGAL CERAMAH DIPAKSA TURUN OLEH UMAT ISLAM JAMA'AH MASJID ASSU'ADA JATINEGARA KAUM JAKTIM!".

Dalam tulisan tersebut, mereka menyebut Gus Nuril sebagai penghina habaib dan tokoh sesat, menyitir ungkapan Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf dalam suatu kesempatan. Dari sini kita bisa membaca bahwa kesebalan sebagian pihak terhadap Gus Nuril adalah sebab pernyataan-pernyataan emosional beliau menyangkut para habaib, khusunya menyinggung sosok Habib Syech.
Memangnya ada apa dengan Gus Nuril dan Habib Syech? Mari telusuri. Karena inilah hal yang menurut saya menjadi sumber permasalahan. Insiden malam Sabtu kemarin hanya efek domino saja.
Pada Senin, 9 Desember 2013, Gus Nuril berceramah di Gereja Bethany, Tayu, Pati, Jawa Tengah. Beliau diundang untuk mengisi rangkaian acara Natal Kebangsaan dalam tema ‘Nyanyian Perdamaian’ di gereja tersebut. Videonya tersebar luas dengan judul KH. Nuril Arifin Ceramah Di Gereja Tayu Pati Full dengan durasi hampir satu jam. Jadi, memang bukan dalam seremoni misa natal yang selalu digelar pada 25 Desember, melainkan –hanya- rangkaian acara natal.

Video ini mencuat pada momen natal tahun lalu (2014) dan menuai berbagai komentar dari netizen. Baik mengecam maupun mendukung, baik memuji maupun mencaci. “Ada kiai ceramah di gereja!” begitu seru khalayak. Saya pun terpancing untuk ikut menonton rekaman tersebut, maka saya tonton. Ternyata isinya tidak heboh-heboh amat. Gus Nuril menyampaikan hal-hal yang bersifat informatif dan cocok di tengah-tengah audiens umat Kristiani.

Adanya tentangan dari pihak yang sepakat tentu menjadi hal yang wajar. Pro-kontra kiai masuk gereja pun mulai mencuat. Obrolan dan komentar tentang aksi Gus Nuril di Pati pun banyak bertebaran, tentu dengan berbagai biasnya. Salah satunya diungkapkan secara terbuka oleh Habib Syech bin Abdul Qodir Assegaf, pengasuh Majlis Shalawat Ahbabul Musthafa, di hadapan ribuan jamaah shalawat di Jawa Timur yang terrekam dalam video di Youtube dengan judul "HABIB SYEKH: KYAI YG CERAMAH DI GEREJA ITU KYAI ORA WARAS"

Dalam potongan video tersebut, Habib Syech mengritik kiai yang keluar masuk gereja untuk berceramah. Menurut beliau, orang-orang semacam itu adalah sesat dan menyesatkan, serta jangan ditiru. Toleransi yang tepat, menurut beliau, adalah dengan saling membantu dalam urusan duniawi, misalnya ada tetangga non-muslim yang kelaparan, maka seorang muslim wajib membantunya. Namun tidak demikian dengan urusan akidah. Kiai yang mengisi ceramah di gereja sudah kelewat batas, menurut beliau.

Untuk hal ini, tentu saya sepakat dengan Habib Syech, Apalagi memang kultur masyarakat kita belum bisa menerima, masih rentan dan harus pelan-pelan. Namun rasanya sulit untuk menerima pernyataan Habib Syech selanjutnya bahwa kiai-kiai yang berceramah di gereja adalah orang-orang yang tidak waras, kemudian sebutan ‘otaknya rusak’ (campur uget-uget). Pernyataan ini menggeneralisasi dan bisa menggiring opini khalayak ramai.

Dalam situasi dan kondisi tertentu, tidak masalah ulama masuk ke gereja untuk berdiskusi, seminar,
atau berceramah dalam rangka dakwah. Namun memang sebaiknya tidak perlu ditonjol-tonjolkan sehingga bisa memancing fitnah di tengah umat. Main cantik itu perlu di tengah zaman yang riskan dengan berbagai kemunafikan media ini.

Video kecaman Habib Syech pun menyebar. Lalu muncullah tanggapan dari Gus Nuril. Pertama saya lihat di postingan status facebook beliau. Kemudian lebih jelas lagi beliau sampaikan pada suatu momen pengajian Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad (Gus Nuril Menjawab Habib Syech). Dalam video berdurasi 13:39 tersebut, nampak betul kekesalan Gus Nuril terhadap kecaman-kecaman yang dituduhkan Habib Syech.

Pada awalnya saya sepakat atas argumen Gus Nuril tentang kerukunan antarelemen bangsa, kemudian wajarnya dakwah ke berbagai kalangan masyarakat, serta pentingnya menjalin hubungan dengan nonmuslim. Apalagi ketika Gus Nuril mengungkapkan kiprah pengislaman beliau terhadap banyak tokoh berpengaruh. Tentu hal ini patut diapresiasi. Namun ketika beliau menyinggung sosok pengecamnya, yakni Habib Syech, saya mulai cemas.

Di situ Gus Nuril dengan jelas menyatakan bahwa Habib Syech hanyalah mantan supir truk di Arab. Jelas pernyataan ini adalah sindiran yang berlebihan. Beliau juga sampaikan bahwa nama ‘Syech’ itu tidak tepat disandang karena itu adalah kata gelar, sehingga tak tepat bila kata gelar tersemat sebagai nama orang. Pernyataan ini juga -menurut saya- ledekan yang kurang tepat disampaikan dalam forum terbuka semacam itu.

Apalagi ketika beliau mulai berbicara tentang keturunan Arab dan seluk beluk habaib. Ini adalah salah satu tema yang kemudian dijadikan senjata bagi para pengecam Gus Nuril. Menurut mereka, Gus Nuril tidak mengakui adanya keturunan Rasulullah saat ini, dan tidak menghormati kiprah para habaib sebagai penyebar agama Islam di Nusantara. Tidak seperti Gus Dur yang sangat membela kalangan habaib sebagaimana pernah disampaikan pada tahun 1994 di kediaman Habib Novel, Pesantren Al-Fachriyyah Tangerang. Untuk hal ini, apakah Gus Nuril mengakui kiprah para habaib –khususnya jalur Yaman- atau tidak, tentu biar beliau yang mengkonfirmasinya. Sebagai warga NU berhaluan Ahlussunnah wal Jama'ah, eksistensi ahlul bayt dengan berbagai variasi sebutannya (habib, syarif, sayyid) adalah hal yang absah dan mutawatir.

Gojek

Dalam dua video yang dicantumkan di atas, ada kemiripan yang disampaikan dua tokoh kita ini. Pertama, keduanya sama-sama menampilkan diri sebagai sosok yang punya tempat dalam Nahdlatul Ulama (NU). Habib Syech mengatakan bahwa beliau adalah anggota mustasyar NU, sedangkan Gus Nuril menyampaikan bahwa beliau adalah pemimpin pendekar-pendekar Banser NU.
Kedua, adanya tudingan beraroma materialistis dari masing-masing tokoh. Habib Syech menuding bahwa sosok-sosok kiai yang masuk gereja semacam ‘itu’ memiliki motivasi fulus. Sedangkan Gus Nuril, secara menyindir, sosok Habib Syech diundang kemana-mana untuk ‘bernyanyi’ pasti banyak mendapat ‘sangu’.

Ketiga, sama-sama mengungkapkan kekesalan emosional. Habib Syech mengangkat ungkapan ‘tidak waras’ kepada sasaran kritiknya. Gus Nuril juga berkata ‘goblok’ dalam tanggapannya. Ya, meskipun kedua tokoh ini tidak secara gamblang menyebutkan nama, namun kita tentu paham siapa yang dimaksudkan.

Tiga hal ini, menurut saya, sudah keluar dari konteks kritikan. Murni merupakan asumsi pribadi yang dibumbui kekesalan emosional. Maka ketika mengamati dua video ini, saya sempat tersenyum geli. Karena saya jadi teringat kebiasaan saling ledek saya bersama teman-teman di pesantren. Istilahnya; gojek. Saat ada teman yang mendapat undangan selametan, teman yang lain berseloroh; “Asiiik berkat berkaat.” Ketika ada teman yang baru pulang kenduren, teman yang lain meledek; “Merah atau biru?”

Hal-hal seperti itu, sangat biasa di lingkungan kami. Saling gojek dan ledek begitu lumrah dalam kehidupan pesantren. Maka saya kira, tuduhan-tuduhan emosional bernada ledekan itu hanya sekedar gojek dari masing-masing tokoh. Semoga saja begitu. Namun saya berpikir lagi. Bukankah ada situasi dan kondisi yang tepat untuk saling gojek, bukan untuk konsumi khalayak awam seperti itu?
Nah, jika ungkapan emosional tersebut bukan gojek, maka kemungkinan lain adalah khilaf, kepeleset lisan. Sebagai penganut akidah Ahlussunnah wal Jama’ah, saya meyakini bahwa para rasul adalah sosok-sosok maksum yang terjaga dari kesalahan. Namun tidak demikian halnya dengan umat beliau, para ulama sekalipun. Ada kemungkinan kepeleset ucapan, keliru pendapat, hingga ketelingsut wawasan. Ini kalau kita sepakat bahwa kedua tokoh yang kita bicarakan di sini termasuk dalam kategori ulama. Apalagi jika tidak termasuk dalam kelas ulama, hanya ‘dai’ misalnya.

Promotor NU & NKRI

Di Aswaja TV, stasiun televisi resmi PBNU, Gus Nuril sering menyampaikan wejangan-wejangan mencerahkan. Beliau mengajak masyarakat, khususnya warga NU untuk teuh pada akidah Ahlussunnah wal Jama’ah yang dibawa Walisongo ke Nusantara. Beliau juga mengajak masyarakat untuk menjaga persatuan dan kesatuan sebagai bangsa yang kokoh.

Di momen lain, masih saya ingat betul instruksi Habib Syech yang kebetulan sering diundang di Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta. Saat itu saya menyimak dari kamar. “Jangan ada bendera yang dikibar-kibarkan selama majlis ini selain Merah Putih!” begitu ujar beliau. Di kesempatan lain, beliau selalu mempertegas identitas warga NU sebagai garda terdepan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Intinya, dua tokoh kita ini berjuang di lahan perjuangan yang sama. Warna dan frekuensi yang sama. Beliau berdua sama-sama mengajak masyarakat untuk menekankan aspek spiritualitas. Sama-sama mengajak masyarakat untuk meneladani dakwah Walisongo. Sama-sama mengibarkan panji-panji Nahdlatul Ulama. Dan tentunya, sama-sama mengajak masyarakat untuk mempererat tali kebangsaan dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Lalu mengapa sampai ada retakan semacam ini? Saya curiga ada pembisik-pembisik di sekeliling keduanya yang membiaskan informasi yang benar sehingga menimbulkan keliru tanggap dan kesalahpahaman. Ketika saya membincangkan ini dengan beberapa teman-teman santri, ada yang menyatakan; “Kalau saja Habib Syech tabayun dulu ke Gus Nuril tentang isi video itu,” ada juga yang bilang, “Kalau saja Gus Nuril cukup memberikan penjelasan seperlunya saja, tak usah menanggapi secara berlebihan.”

Tapi apalah arti kicauan remah-remah roti di tengah ladang padi semacam kami. Namun kami tetap berharap ada solusi bagi polemik ini sebelum dimanfaatkan media-media provokasi. Bagi kalangan yang sudah mapan berpikir, mungkin biasa-biasa saja. Namun bagaimana nasib warga nahdliyyin awam yang sudah kadung tresna dengan lantunan shalawat Habib Syech dan gemuruh semangat kebangsaan Gus Nuril? Kasihan mereka.

Maka siapa lagi yang bisa mengasihi mereka kalau bukan para ulama dan pendakwah? Solusi konkrit problem ini adalah dibukanya pintu komunikasi di antara kedua tokoh. Agar tak berlarut-larut. Pihak yang menjadi penengah tentu ormas yang selalu dielu-elukan keduanya, yakni Nahdlatul Ulama. Di sinilah sebaiknya posisi NU, baik pengurus maupun simpatisan, tidak usah memihak.

Walau bagaimanapun, baik Gus Nuril maupun Habib Syech, adalah promotor NU dan kesatuan NKRI yang memiliki basis massa tidak sedikit. Tentu saja dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya sebagai manusia. Sebagai payung, PBNU selayaknya tidak membiarkan masalah ini berlarut-larut hingga menimbulkan insiden kecil di awal tulisan.

Semoga peristiwa ini bisa menjadi teguran bagi kita untuk makin mempererat persatuan sebagai saudara seperjuangan. Maaf jika dalam tulisan ini banyak bertabur frase 'menurut saya' karena memang sekedar tanggapan pribadi saja. Dan Anda pun bebas mengungkapkan pendapat menurut Anda.
~


Salam damai.
Krapyak Yogyakarta, 24 Februari 2015