"Orang-orang awam yg terpengaruh oleh jalan cinta
Maulana Rumi menganggap semua manusia di jagad raya ini adalah mukmin. Orang-orang
awam yang terpengaruh jalan ghuluw Syaikh ibn Taimiyyah menganggap seluruh umat
ini kafir. Bagi orang awam, terlalu rumit memahami jalan tengah karena itu
membutuhkan ilmu, tidak sekedar fanatisme belaka."
---- Ust. Muhajir Madad Salim
Maulana Rumi adalah seorang humanis. Pendiri tarekat para
penari darwisy, dikenal sebagai tarekat Maulawiyyah. Rumi memandang seluruh umat
manusia dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih sayang, bahkan terhadap
seluruh keburukan-keburukan yang ada dalam diri mereka.
Dalam ketaatan serta kejahatan mereka.
Keindahan dan keburukan mereka.
Keimanan dan kekafiran mereka. Rumi memandang itu semua
adalah ‘citra‘ sejati Allah. Kalimat beliau yang terkenal menunjukkan
pandangannya tentang hal itu: “Sesungguhnya kejahatan adalah salah satu bentuk
keagungan Allah. Kejahatan adalah bagian dari kesempurnaan Allah. Kesempurnaan
Allah akan terlihat dalam dalam ciptaan–ciptaanNya yang jelek, yang dilakukan
oleh umat manusia.“
Untuk dapat memahami pemikiran yang sedemikian besar ini
memerlukan sosok–sosok yang sempurna dalam penguasaan syari’ahnya. Perlu
seseorang yang mengerti dan mampu membedakan antara bagian yang samar dari yang
jelasnya. Seseorang mesti memahaminya dengan ‘syarah-syarah’ yang lurus
sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyidina Abdurrahman Al Jammi.
Al Jammi mempunyai andil yang teramat besar untuk
mendekatkan ‘pemahaman humanis‘ Rumi agar tidak disalahartikan terlalu jauh,
sebagaimana kritik para cendekiawan terhadap ajaran Ar Rumi: “Kelompok sufi ini
tidak begitu mengamalkan syariat agama. Bagi mereka, perasaan beragama itu yang
penting. Perasaan beragama itu segala–galanya.“
Orang awam akan menangkap ini dengan pemahaman keawamman
mereka. Syariat tidak lagi dibutuhkan, menurut mereka. Hanya cinta yang
mengarahkan kepada hakekat, sebagaimana dalam Matsnawiy: “Aku [Tuhan]
menginginkan hati yang hancur. Nyalakan api cinta dalam hati, dan campakkan
kata-kata di dalamnya..”
Dan saat semua dianggap sama, dan baik buruk adalah citra
Tuhan adanya, maka bagi mereka orang awam tidak ada lagi ada bedanya apakah
umat ini beriman atau tidak. Hal sedemikian ini tentu bukan pemaknaan yang sebenarnya.
Dan sebagaimana faham wahdatil wujud, selalu banyak pula juhala’us sufiyyah
yang keliru memaknainya.
Kata para cendekiawan Ar Rumi hanya berusaha untuk membuat hati
seseorang lebih merasakan cinta dalam beragamanya dan tidak mengenal putus asa
dalam mengenal serta meyakini Tuhan.
Wallahu a’lam.