Kamis, 12 Februari 2015

Semua Manusia itu Beriman

"Orang-orang awam yg terpengaruh oleh jalan cinta Maulana Rumi menganggap semua manusia di jagad raya ini adalah mukmin. Orang-orang awam yang terpengaruh jalan ghuluw Syaikh ibn Taimiyyah menganggap seluruh umat ini kafir. Bagi orang awam, terlalu rumit memahami jalan tengah karena itu membutuhkan ilmu, tidak sekedar fanatisme belaka."  
---- Ust. Muhajir Madad Salim

Maulana Rumi adalah seorang humanis. Pendiri tarekat para penari darwisy, dikenal sebagai tarekat Maulawiyyah. Rumi memandang seluruh umat manusia dengan pandangan yang lembut dan penuh kasih sayang, bahkan terhadap seluruh keburukan-keburukan yang ada dalam diri mereka.

Dalam ketaatan serta kejahatan mereka.

Keindahan dan keburukan mereka.

Keimanan dan kekafiran mereka. Rumi memandang itu semua adalah ‘citra‘ sejati Allah. Kalimat beliau yang terkenal menunjukkan pandangannya tentang hal itu: “Sesungguhnya kejahatan adalah salah satu bentuk keagungan Allah. Kejahatan adalah bagian dari kesempurnaan Allah. Kesempurnaan Allah akan terlihat dalam dalam ciptaan–ciptaanNya yang jelek, yang dilakukan oleh umat manusia.“

Untuk dapat memahami pemikiran yang sedemikian besar ini memerlukan sosok–sosok yang sempurna dalam penguasaan syari’ahnya. Perlu seseorang yang mengerti dan mampu membedakan antara bagian yang samar dari yang jelasnya. Seseorang mesti memahaminya dengan ‘syarah-syarah’ yang lurus sebagaimana yang dijelaskan oleh Sayyidina Abdurrahman Al Jammi.

Al Jammi mempunyai andil yang teramat besar untuk mendekatkan ‘pemahaman humanis‘ Rumi agar tidak disalahartikan terlalu jauh, sebagaimana kritik para cendekiawan terhadap ajaran Ar Rumi: “Kelompok sufi ini tidak begitu mengamalkan syariat agama. Bagi mereka, perasaan beragama itu yang penting. Perasaan beragama itu segala–galanya.“

Orang awam akan menangkap ini dengan pemahaman keawamman mereka. Syariat tidak lagi dibutuhkan, menurut mereka. Hanya cinta yang mengarahkan kepada hakekat, sebagaimana dalam Matsnawiy: “Aku [Tuhan] menginginkan hati yang hancur. Nyalakan api cinta dalam hati, dan campakkan kata-kata di dalamnya..”

Dan saat semua dianggap sama, dan baik buruk adalah citra Tuhan adanya, maka bagi mereka orang awam tidak ada lagi ada bedanya apakah umat ini beriman atau tidak. Hal sedemikian ini tentu bukan pemaknaan yang sebenarnya. Dan sebagaimana faham wahdatil wujud, selalu banyak pula juhala’us sufiyyah yang keliru memaknainya.

Kata para cendekiawan Ar Rumi hanya berusaha untuk membuat hati seseorang lebih merasakan cinta dalam beragamanya dan tidak mengenal putus asa dalam mengenal serta meyakini Tuhan.


Wallahu a’lam.