Jumat, 31 Mei 2013

Percepat Aku Ke Kuburku

Akan datang detik-detik kematian kepadaku dan kalian.
Diriwayatkan dalam Shahih al Bukhari:

"Ketika seseorang telah wafat, dan jenazahnya diusung menuju kubur, jika dia orang yang beriman maka ruhnya berseru: "qaddimuuni (percepat aku)" ke kuburku, karena ia akan bertemu dengan Sayyidina Muhammad Saw.

Namun jika dia adalah orang yang munafik dan banyak berbuat dosa maka ruhnya berseru: Sungguh celaka, jasadku akan dibawa kemana, jangan kalian kuburkan aku, jika kalian kuburkan aku maka aku akan di datangi malaikat untuk ditanya"

Di saat itu yang beruntung adalah para pecinta Sayyidina Muhammad Saw, orang yang berpuasa ramadhan, orang yang banyak tarawih, yang banyak bersujud dan berdoa maka beruntung di dalam kuburnya akan mendapat ketenangan.

اللهم صلى و سلم و بارك على سيدنا محمد و على آله و صحبه و بارك و سلم اجمعين

Budak Yang Menahan Lapar

Al-Imam Ibnu Qudamah Rohimahullaah mencantumkan kisah yang menakjubkan tentang kedermawanan seorang budak hitam dalam kitab beliau Mukhtashor Minhajul Qoshidin. Semoga bisa kita ambil pelajaran.
Al-Imam Ibnu Qudamah menuturkan,

“Abdullah bin Ja’far keluar melihat-lihat tanah miliknya, lalu beliau singgah di sebuah kebun milik suatu kaum. Di sana ada seorang budak hitam yang sedang bekerja, makanan budak tersebut disediakan, saat dia hendak makan, tiba-tiba seekor anjing masuk ke dalam kebun, anjing itu mendekat kepada budak hitam, budak tersebut melemparkan sepotong roti, maka anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan kedua dan anjing itu memakannya, kemudian budak itu melempar potongan ketiga dan anjing itu memakannya sementara ibnu Ja’far melihatnya.

Maka dia (Abdullah bin Ja’far) mendekat dan berkata (kepada budak itu), “Fulan, berapa banyak jatah makanmu dalam sehari?”

Dia menjawab, “Seperti yang engkau lihat.”

Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu mengapa kamu memberikannya kepada anjing itu?”

Dia menjawab, “Daerah ini bukan daerah anjing, maka anjing itu sepertinya datang dari jauh, dia lapar, maka aku tidak ingin menolaknya.”

Ibnu Ja’far bertanya, “Lalu apa yang kamu lakukan?”

Dia menjawab, “Menahan lapar hari ini.”

Ibnu Ja’far berkata kepada dirinya sendiri, “Aku disalahkan karena banyak memberi, ternyata budak ini lebih murah hatinya daripada diriku.” Lalu Abdullah bin Ja’far membeli kebun sekaligus peralatannya, dia membeli budak itu, memerdekakannya dan memberikan kebun tersebut kepadanya.”

Uban Adalah Cahaya

:: Salah Satu Golongan Yang Memiliki Cahaya Pada Hari Kiamat ::

Adalah mereka yang tua dalam Islam (Islam hingga usia senja)

Diriwayatkan dari Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu 'anhu, ia berkata Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

"Uban adalah cahaya di wajah orang muslim, maka barangsiapa yang berkehendak, silahkan mencabut cahayanya." [HR.Ahmad dalam al Musnad]

Diriwayatkan dari Ka'ab bin Murrah radhiyallahu 'anhu, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Barangsiapa yang tumbuh satu uban (dikepalanya), uban itu akan menjadi cahaya untuknya pada hari kiamat." [HR.Baihaqi]

Dengan satu uban akan dicatat satu kebaikan dan diangkatkan satu derajat.
Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr radhiyallahu 'anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Uban adalah cahaya orang mukmin, tidaklah seseorang tumbuh satu uban (dikepalanya) dalam Islam melainkan ia akan mendapatkan satu kebaikan untuk setiap satu uban dan diangkat untuknya satu derajat." [HR.at Tirmidzi]

Bukan Yang Berkelas

Banyak orang bisa membeli ranjang berkelas, tetapi tidak mampu membeli tidur pulas.

Banyak orang bisa membeli obat mujarab, tetapi tidak mampu membeli badan sehat.

Banyak orang bisa membeli rumah megah, tetapi tidak mampu membeli keluarga sakinah.

Banyak orang bisa membeli karier mapan, tetapi tidak mampu membeli hidup tenang.

Syarat dan Tahap Al-Murid Untuk Menuju Allah

>>Penghalang untuk sampai kepada Allah adalah tidak berakhlak mulia, dan penghalang untuk kita berperibadi mulia adalah tiada keinginan berbuat baik, dan penghalang untuk berkeinginan baik adalah kelemahan iman, dan punca lemahnya iman adalah ketiadaan bimbingan dan pengingat serta penasihat yang mengingatkan akan kehinaan dunia dan keagungan akhirat dan kekekalannya.

>> 4 Hijab yang menghalang antara dirinya dengan Allah adalah:

1] Harta
2] Kedudukan, pangkat dan kemasyhuran
3] Taqlid buta dan fanatik
4] Maksiat

>>Kita perlu bersungguh-sungguh dalam bertaubat dan menjauhi dosa, barangsiapa yang tidak memperbaiki taubatnya dan bersungguh-sungguh, lalu ingin meneroka rahsia-rahsia agama Allah, umpama orang yang ingin mengetahui rahsia dan hikmah Al-Quran tanpa mengetahui bahasa arab.
Maka perlu untuk kita utamakan bahasa, baru meningkat kepada rahsia makna-makna, begitu juga dalam tazkiyah, kita perlu untuk perbaiki ilmu dan amalan syari'at, baru meningkat kepada rahsia-rahsia dan hikmahnya..

>>Setelah berjaya menebas 4 hijab tersebut, ia menjadi seperti seorang yang telah berwudhu' dan bersedia untuk solat, maka ia perlukan seseorang menjadi imamnya untuk diikuti, dialah guru pembimbing.

>>Sesiapa yang tiada guru yang membimbingnya maka syaitan akan membawanya ke jalan-jalannya yang keji..

>>Setelah mendapatkan syeikh, guru murobbi yang membimbingnya, ia perlu menguatkan perisai dirinya dengan melatih diri dengan 4 rukun riadhah(sukan/latihan) rohani:

1] Lapar(Kurangkan makan/makan sekadar keperluan)
2] Berjaga malam(kurangkan tidur, banyakkan ibadah)
3] Banyak berdiam diri(kurangkan perkara tiada faedah)
4] Al-Khalwah(Bersendiri dengan Allah/kurangkan berinteraksi dengan orang ramai)

*Begitu juga di alam maya FB dan Twitter kurangkanlah online dengan makhluk, screen, komputer, handphone dll, dan perbanyakkan 'online' dengan Allah.

-Kita biasakan diri dengan 4 perkara ini dan mengawalnya sekadar keperluan.

>>Setelah latihan tersebut, ia perlu mula bersuluk dengan menjaga akhlaknya serta menjauhi dan mengelakkan diri dari rintangan hawa nafsu dan kekejian hati.

>>Kemudian guru pembimbingnya akan menjadikannya melazimi zikrullah di dalam hati serta konsisten dengannya hingga walau lidahnya tidak bergerak, hatinya sentiasa berzikir sehingga zikir-zikir itu benar-benar teguh di dalam hatinya dan menguasai jiwa. Lalu jiwanya sentiasa bersama Allah.

Habib Umar bin Hafidh - Ihya Ulumuddin

Anehnya Perkataan Orang

Jiwo dan Tejo

Di desa, saya punya dua teman. Yang satu Jiwo namanya, lainnya Tejo. Nasib mereka berbeda. Posisi mereka tidak sama. Cara orang banyak memandang dan menilai mereka juga unik.

Misalnya dalam pergaulan. Kalau Jiwo terlihat di warung, duduk di sisi seseorang yang dikenal suka maling, maka orang menyebut Jiwo adalah temannya maling, punya rancangan kolusi untuk maling, dengan kata lain Jiwo dianggap juga seorang maling. Contoh lain kalau Jiwo pada suatu siang tampak diboncengkan oleh sepeda motor Pak Lurah, maka orang menganggap Jiwo sudah direkrut oleh Pak Lurah, sudah berkongkalikong dengan Pak Lurah, sudah berkhianat kepada sebagian penduduk yang kebetulan pernah disusahkan hidupnya oleh Pak Lurah.

Adapun nasib Tejo berbeda. Kalau ia akrab dengan maling, orang menyimpulkan itu adalah taktik untuk menginsafkan maling. Kalau Tejo jalan runtang-runtung dengan tukang renten, itu adalah bagian dari strategi makro politik perekonomian Tejo. Kalau Tejo pagi hari bercengkerama dengan buruh-buruh di gardu, sorenya dijamu di rumah Pak Lurah — orang menyimpulkan Tejo adalah seorang yang kosmopolit, seorang demokrat sejati dan arif, yang mau bergaul dengan siapa saja.

Ada kemungkinan, jika kelak Jiwo masuk sorga, orang akan menyebut itu adalah penyelundupan, atau sekurang-kurangnya Jiwo telah menyogok agar bisa masuk sorga. Sedangkan kalau Tejo masuk neraka, itu adalah strategi untuk menghindari sikap takabur bahwa ia sesungguhnya berhak masuk sorga. Juga Tejo sengaja menemani orang-orang menderita di neraka.





Cak Nun

Tunjukkan Padaku Rumahku

Ibrahim bin Adham mempunyai 72 budak, setelah beliau bertaubat, semua budak, dibebaskan.
Salah satu budak yang dimerdekakan, ada yang minum arak sampai mabuk berat dan bertemu Ibrahim. budak itu berkata "Tunjukkan padaku rumahku".

Ibrahim bin Adham mengantarkan sampai kuburan.

Budak itu memaki dengan kata yang tidak terkendali dan mengambil cambuk. (budak itu naik kuda Ibrahim yang menunjukkan jalan sambil jalan kaki) kemudian budak itu mencambuki Ibrahim bin Adham.

Kemudian ada seorang yang datang membela Ibrahim dan memberitahu budak itu bahwa yang dicambuk adalah Tuan yang membebaskannya.

Setelah budak itu sadar dia meminta maaf ke Ibrahim.

Ibrahim menjawab, "Ku terima permintaanmu dan sudah kulupakan apa yang kau lakukan."

"Tuanku, aku sudah memukulimu sedangkan engkau mendoakan aku dengan kebaikan, dan engkau berdoa setiap pukulan ampunan buatku."

"Bagaimana mungkin aku tidak mendoakan kebaikan padamu, sedangkan kamu menjadi sebab jalanku ke surga atas pukulan yang kau berikan."

Gaya Berpakaian Rasulullah

Suatu saat Rasulullah yang punya hutang kepada Yahudi, dihadang di tengah jalan oleh pemilik piutang. Ia menagih.

“Muhammad, mana pinjamanmu?”

“Bukankah saya berjanji akan melunasi dalam jangka waktu 7 hari, ini baru 5 hari?
“Mana? kembalikan sekarang!” suaranya tambah lantang.

“Nanti, sehabis takziyah akan saya lunasi.” jawab Baginda Rasulullah dengan tenang.
Tiba-tiba selendang Rasul yang melingkar di leher beliau ditarik. Rasulullah berputar, hampir saja terpelanting andaikan tidak ditangkap Sayyidina Umar bin Khaththab. Rasulullah tegak kembali dan tersenyum.

“Sabar ya, habis takziyah ya...” jawab Rasulullah dengan tetap tersenyum tenang.
Melihat Rasulullah diperlakukan seperti itu, darah Umar mendidih. Lengan baju baju ia singsingkan, dan ia berniat memukul Yahudi tersebut. Melihat gelagat Sayyidina Umar, kali ini Rasulullah yang mendekap sahabatnya tersebut.

“Hai Umar, ini kan urusanku dengannya. Dia berhak menagih, kenapa malah kau yang marah?” Umar luruh hatinya. Ia sadar ikut campur urusan Rasulullah.

Setelah hutang dilunasi, paginya Yahudi datang lagi ke Rasulullah. Beliau pun kaget.
“Kenapa datang?”

“Begini Muhammad, andaikan kemarin engkau yang hampir jatuh itu marah, tentu bukan Nabi. Tetapi yang kulihat engkau bangkit dan malah tersenyum. Aku yakin bahwa engkau adalah Nabi. Sekarang dengarkan kesaksianku: ASYHADU ALLA ILAHA ILLALLAH.. WA ASYHADU ANNAKA MUHAMMADUR RASULULLAH.”
Yahudi masuk Islam berkat senyum Rasulullah.
---


SubhanAllah….
Kali ini silahkan bertakbir. Allahu Akbar.
---
Status KH. Munawir AF, tertanggal 10 Maret 2013

Minggu, 12 Mei 2013

Kedua Kakiku Berada Di Atas Pundak Para Wali


SENANTIASA MENATA HATI

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di usia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas.

Suatu saat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kedua temannya itu sepakat untuk mengunjungi seorang wali Allah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani (440H-535H, beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain al-Hamdani murid dari Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi murid dari Imam al-Ghazali), yang dikenal sebagai al-Ghauts (seorang ahli ibadah yang shaleh, wali Allah yang tinggal di pinggir kota) namun beliau dikunjungi banyak orang.

Sebelum berangkat, Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dari ziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata: “Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.”

Kemudian Ibn Abi Usrun juga berkata: “Aku akan ajukan pertanyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.”

Akan tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun kepada beliau: “Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari mempertanyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil berkah darinya.”

Kemudian berangkatlah ketiganya menuju rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghaus, beliau meninggalkan mereka beberapa saat.

Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka dan berkata: “Wahai Ibn as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian (Syaikh Yusuf al-Hamdani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa: “Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”

“Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasalahan ilmiah, jawabnya adalah demikian. (Syaikh Yusuf al-Hamdani lalu menjelaskan jawabannya berserta nama kitab yang membahas persoalan itu). Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.”

Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts melihat kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, lantas berkata: “Wahai anakku Abdul Qadir, engkau diridhai Allah dan RasulNya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu inginkan insya Allah akan tercapai. Aku melihat bahwa kamu nanti akan berkata: “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali.”

Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghauts.

Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nasrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja Nasrani. Penduduk negeri telah sepakat bahwa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibn as-Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka.

Maka berangkatlah Ibn as-Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nasrani. Sesampainya Ibnu as-Saqa di negeri kaum Nasrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibn as-Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (Nasrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nasrani.

Sedangkan Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan Raja Sultan ash-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.

Adapun Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah juga di sisi manusia sehingga sampai suatu hari beliau berkata: “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali.” Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu. Bahkan hingga mencapai maqam/ kedudukan peringkat tertinggi sebagai Sulthanul Auliya di masanya.

(Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiyah karya Syaikh Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafi’i).






Ucapan Anjing Hitam Yang Menyayat Hati


BELAJAR MENGHARGAI DARI SEEKOR ANJING

Pada suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang menyusuri sebuah jalan sendirian. Tak seorang santri pun diajaknya. Ia memang sedang menuruti kemauan langkah kakinya berpijak; tak tahu ke mana arah tujuan dengan pasti. Maka dengan enjoynya ia berjalan di jalan yang lengang nan sepi.

Tiba-tiba dari arah depan ada seekor anjing hitam berlari-lari. Syeikh Abu Yazid al-Busthami merasa tenang-tenang saja, tak terpikirkan bahwa anjing itu akan mendekatnya. Ternyata anjing-anjing itu sudah mendekat di sampingnya.

Secara spontanitas Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun segera mengangkat jubah kebesarannya. Tindakan tadi begitu cepatnya dan tidak jelas apakah karena merasa khawatir jangan-jangan nanti bersentuhan dengan anjing yang liurnya najis.

Tapi, betapa kagetnya Syeikh Abu Yazid al-Busthami begitu ia mendengar anjing hitam yang di dekatnya tadi memprotes: “Tubuhku kering dan aku tidak melakukan kesalahan apa-apa!”

Mendengar suara anjing hitam seperti itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terbengong: “Benarkah ia bicara padanya? Ataukah itu hanya perasaan dan ilusinya semata?” Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih terdiam dengan renungan-renungannya.

Belum sempat bicara, anjing hitam itu meneruskan celotehnya: “Seandainya tubuhku basah, engkau cukup menyucinya dengan air yang bercampur tanah tujuh kali, maka selesailah persoalan di antara kita. Tetapi apabila engkau menyingsingkan jubah sebagai seorang Parsi (kesombonganmu), dirimu tidak akan menjadi bersih walau engkau membasuhnya dengan tujuh samudera sekalipun!”

Setelah yakin bahwa suara tadi benar-benar suara anjing hitam yang ada di dekatnya itu, Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun menyadari kekhilafannya. Secara spontan pula, ia bisa merasakan kekecewaan dan keluh kesah si anjing hitam yang merasa terhina. Ia juga menyadari bahwa telah melakukan kesalahan besar. Ia telah menghina sesama makhluk Tuhan tanpa alasan yang jelas.

“Ya, engkau benar anjing hitam. Engkau memang kotor secara lahiriah, tetapi aku kotor secara batiniah. Karena itu, marilah kita berteman dan bersama-sama berusaha agar kita berdua menjadi bersih.” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

Ungkapan Syeikh Abu Yazid al-Busthami tadi tentu saja merupakan ungkapan rayuan agar si anjing hitam itu mau memaafkan kesalahannya. Jikalau binatang tadi mau berteman dengannya, tentu dengan suka rela ia mau memaafkan kesalahannya itu.

“Engkau tidak pantas untuk berjalan bersama-sama denganku dan menjadi sahabatku! Sebab, semua orang menolak kehadiranku dan menyambut kehadiranmu. Siapa pun yang bertemu denganku akan melempariku dengan batu. Tetapi siapa pun yang bertemu denganmu akan menyambutmu bagaikan raja. Aku tidak pernah menyimpan sepotong tulang pun, tetapi engkau memiliki sekarung gandum untuk makanan esok hari!” kata si anjing hitam.

Syeikh Abu Yazid al-Busthami masih termenung dengan kesalahannya. Setelah dilihatnya, ternyata si anjing hitam telah meninggalkannya sendirian di jalanan yang sepi itu. Si anjing hitam telah pergi dengan bekas ucapannya yang menyayat hati Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

“Ya Allah, aku tidak pantas bersahabat dan berjalan bersama seekor anjing milikMu. Lantas, bagaimana aku dapat berjalan bersamaMu yang abadi dan kekal? Maha Besar Allah yang telah memberi pengajaran kepada yang termulia di antara makhlukMu yang terhina di antara semuanya.” seru Syeikh Abu Yazid al-Busthami.

Kemudian, dengan langkah yang sempoyongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami pun meneruskan perjalanannya. Ia melangkahkan kakinya menuju ke pesantrennya. Ia sudah rindu kepada para santri yang telah menunggu pengajarannya.

Keunikan dan kenylenehan Syeikh Abu Yazid al-Busthami memang sudah terlihat sejak dulu. Kepada para santrinya, beliau tidak selalu mengajarkan di pesantrennya saja, tetapi juga diajak merespon secara langsung untuk membaca ayat-ayat alam yang tergelar di alam semesta ini. Banyak pelajaran yang didapat para santri dari Syeikh Abu Yazid al-Busthami; baik pembelajaran secara teoritis maupun praktis dalam hubungannya dengan ketuhanan.

Suatu hari, Syeikh Abu Yazid al-Busthami sedang mengajak berjalan-jalan dengan beberapa orang muridnya. Jalan yang sedang mereka lalui sempit dan dari arah yang berlawanan datanglah seekor anjing. Setelah diamati secara seksama, ternyata ia bukanlah anjing hitam yang dulu pernah memprotesnya. Ia anjing kuning yang lebih jelek dari anjing hitam. Begitu melihat si anjing kuning tadi terlihat tergesa-gesa, maka Syeikh Abu Yazid al-Busthami segera saja mengomando kepada para muridnya agar memberi jalan kepada anjing kuning itu.

“Hai murid-muridku, semuanya minggirlah. Jangan ada yang mengganggu anjing kuning yang mau lewat itu! Berilah dia jalan, karena sesungguhnya ia ada suatu keperluan yang penting hingga ia berlari dengan tergesa-gesa,” kata Syeikh Abu Yazid al-Busthami kepada para muridnya.

Para muridnya pun tunduk-patuh kepada perintah Syeikh Abu Yazid al-Busthami. Setelah itu, si anjing kuning melewati di depan Syeikh Abu Yazid al-Busthami dan para santrinya dengan tenang, tidak merasa terganggu.

Secara sepintas, si anjing kuning memberikan hormatnya kepada Syeikh Abu Yazid al-Busthami dengan menganggukkan kepalanya sebagai ungkapan rasa terima kasih. Maklum, jalanan yang sedang dilewati itu memang sangat sempit, sehingga harus ada yang mengalah salah satu; rombongan Syeikh Abu Yazid al-Busthami ataukah si anjing kuning.

Si anjing kuning telah berlalu. Tetapi rupanya ada salah seorang murid Syeikh Abu Yazid al-Busthami yang memprotes tindakan gurunya dan berkata: “Allah Yang Maha Besar telah memuliakan manusia di atas segala makhluk-makhlukNya. Sementara, Guru adalah raja di antara kaum sufi, tetapi dengan ketinggian martabatnya itu beserta murid-muridnya yang taat masih memberi jalan kepada seekor anjing jelek tadi. Apakah pantas perbuatan seperti itu?”

Syeikh Abu Yazid al-Busthami menjawab: “Anak muda, anjing tadi secara diam-diam telah berkata kepadaku: “Apakah dosaku dan apakah pahalamu pada awal kejadian dulu sehingga aku berpakaian kulit anjing dan engkau mengenakan jubah kehormatan sebagai raja di antara para sufi?” Begitulah yang sampai ke dalam pikiranku dan karena itulah aku memberikan jalan kepadanya.”

Mendengar penjelasan gurunya itu, para murid pun manggut-manggut. Itu merupakan pertanda bahwa mereka paham mengapa guru mereka berlaku demikian. Semuanya diam membisu. Mereka tidak ada yang berani membantah lagi. Akhirnya mereka pun meneruskan perjalanannya.





Kucing Mengantarkan Jenazah


* Kisah Jenazah Diikuti Banyak Kucing**

Bercerita Habib Munzir Al Musawa: Terjadi beberapa waktu yang silam saat itu saya masih di Tarim, Hadramaut. Tinggal beberapa lama di kota syihir, wilayah.. Mukalla disitu ada seorang wanita tua wafat, suatu hari saya melihat jenazah diusung. Tapi ada 1 hal yang ganjil. Apa yang ganjil? Ketika jenazahnya diusung, banyak orang yang mengusungnya dan ratusan ekor kucing ikut mengantarkan jenazah. Ini ganjil, saya fikir ada jenazah diikuti ratusan ekor kucing dan baru ini saya melihatnya. Ketika saya bertanya – tanya, kenapa ini? Mereka memuji wanita tua yang wafat itu alaiha rahmatullah. Di masa hidupnya nafkahnya dicukupi oleh anak – anaknya, kerjanya tiap pagi masuk ke pasar mengambil bekas kepala – kepala ikan yang terbuang dan ditaruh di sebuah gerobak dan ia melemparnya kepada semua kucing yang ada di jalanan. Bertahun – tahun itu terjadi sampai setiap pagi, ratusan kucing sudah berjajar di jalanan menunggu bagian yang diberikan dari wanita tua itu. Ketika ia wafat, ratusan ekor kucing itu mengantarkan jenazahnya. Berhari – hari puluhan ekor kucing tidak meninggalkan kuburnya.

Demikian hadirin – hadirat, Allah jadikan Ibrah (contoh) bahwa setiap hewan itu mempunyai perasaan terimakasih kepada yang memberinya. Bagaimana aku dan kalian yang selalu diberi oleh Allah, adakah perasaan terimakasih terlintas untuk selalu berbakti kepada Allah.




Habib Umar bin Hafidz dan Gadget



"Jadikanlah televisi, handphone, internet dan alat-alat lainya sebagai pelayan dan pembantu untuk agamamu, jika tdk alat-alat itu akan menghancurkan dirimu sedangkan engkau akan tertawa karena tidak menyadarinya, ia akan merusak hatimu, akalmu, akhlakmu, dan fikiranmu, tanpa engkau menyadarinya, engkau tertawa bahagia padahal alat-alat itu telah merusak hal-hal paling berharga yang kau miliki"(al habib Umar bin Hafidz) * Tarim , Hadhramaut , Yaman

Belum Baligh, Bermain Masih Boleh


Bagaimana mendidik anak?
---
"Mengapa engkau biarkan anakmu duduk di majelis ini dan tidak engkau biarkan dia bermain-main bersama teman-teman sebayanya?"

"Kami ingin memperoleh keberkahan majelis Anda ini, guru,"

"Engkau saja yang hadir, sedangkan anakmu, saat ini juga, biarkan ia bermain-main bersama teman-temannya. Selama ia masih dalam usia untuk bermain-main maka biarkanlah ia bermain-main, hingga semua hasrat bermainnya tersalurkan. Jika tidak demikian, maka kelak, saat dewasa, ia justru akan bermain-main,"

Diceritakan, bahwa ada seorang anak yang baru berusia sepuluh tahun telah menjadi pengajar fiqih madzhab Hanafi. Akan tetapi, jika merasa lapar, ia menangis |^_^|

Ada pula kisah seorang ayah yang mengadu kepada orang saleh perihal anaknya yang hobinya gemar bermain. Orang saleh tersebut malah memegang tangan bocah itu sambil berkata, "Ayo bermain sana,"
"Mengapa engkau malah memerintahkannya bermain lagi, guru?"

"Biarkan dia menghabiskan semua keinginannya bermain selagi dalam usia yang layak untuk bermain. Jika hal ini tidak dilakukan, maka kelak ia akan bermain-main pada saat ia sudah seharusnya tidak melakukannya," jawab guru bijak nan saleh itu.

Seorang yang belum baligh, yang masih dalam usia remaja, ia cenderung lebih banyak bermain dan bergerak. Mereka seperti kuali ya berisi air mendidih. Engkau hanya punya dua pilihan, yaitu membuka tutup kuali itu, atau menurunkannya dari atas kompor.
----

Habib Naufal (Novel) bin Muhammad al-Aydrus, "Surga di Depan Mata (Kumpulan Hikayat & Nasehat Bakti Anak Kepada Orangtua, Serta Cinta Ayah Bunda kepada Mereka)", hlm. 141-142, yang mengutip kisah ini dari kitab "Tatsbitul Fuad" karya Habib Ahmad bin Hasan al-Haddad, juz. 2, hlm 4




Simpan dan Jangan Disebarkan


ADAB/TATA KRAMA KETIKA SOWAN BERHADAPAN DENGAN WALI ALLAH

Di dalam qashidah “Uktum Hawana” karya Syekh Abubakar bin Salim terdapat bait-bait berikut ini:

“Simpanlah apa yang aku senangi, jika kamu mengharapkan ridhaku. Jangan sampai disebar-sebarkan rahasiaku kepada orang selain kami.”

Kami di sini yang dimaksud adalah para auliya’. Dan Syekh Abubakar bin Salim adalah pemimpinnya.

“Kamu harus tawadhu’ kepada kami kalau kamu ingin berhubungan dengan kami. Tinggalkan segala keinginan kamu kalau kamu ingin keinginanku.”

Jadi di hadapan auliya’ harus kosong, tidak ada kesombongan (kibr) sedikitpun, harus tawadhu’ Jangan ingin macam-macam,yang akhirnya kamu tak mendapatkan berkah. “Baghoina fulus, baghoina tajir, ingin uang banyak”. Jangan minta apa-apa! Nanti dia akan mengisi sebagaimana yang dia harapkan. Harapan kamu itu harapan remeh, sedangkan harapan dia untuk kamu adalah harapan yang besar. Jangan kamu berharap bagaimana kamu dapat uang banyak, rizkinya banyak, dll. Kosongkan hati kamu, baru nanti akan diisi asrar oleh mereka.

Kenapa? Harapan dia untuk diri kamu, yang diharapkan oleh auliya’, yang diinginkan auliya’ untuk diri kamu itu lebih besar dari apa yang diharapkan kamu untuk diri kamu. Jadi di hadapan mereka mestinya diam saja. Lebih baik kamu jadi tong kosong. Tong kosong tapi jangan nyaring bunyinya. Jadi perlu untuk farogh, perlu bersih hati, jangan berharap apa-apa.

Saya ingin ini, ingin itu, tidak usah kepingin sudah. Buang itu kepingin, tapi katakan dalam hati kamu: “Saya ingin yang diingini oleh wali ini. Saya ingin apa yang diingini oleh orang ‘arif ini”, niscaya kamu akan sampai seperti mereka nanti.

Syeikh Abu Yazid al-Busthami berkata: “Lau i’taqodtum anna al-bissa ta’kulu al-faaroh bighoiri idznii, maa ahsantum adz-dzonn bii.” (Wahai santriku, kalau seandainya kamu masih meyakini ada kucing makan tikus bukan karena perintahku, bukan karena idzinku, berarti kamu masih belum husnudzdzon kepadaku).

Pasrah total saja kalau sama auliya’. Kalau disuruh nyebur sumur, nyebur. Seperti Syeikh Umar Bamakhromah dengan Syeikh Abdurrahman al-Akhdhor, disuruh melemparkan diri dari gunung.

Ingin asrar, ingin sirr gitu, tidak gampang. “Harus ujian.” “Ya kher.” “Siap ente diuji?” “Siap”.

Kamu naik ke gunung lemparkan dirimu dari atas gunung. Kalau kita kan berfikir: “Maghrum..” Harus dibuang itu segala keraguan, segala keinginan kalau kepada syaikhul ‘arif. Sampai di atas, ia lihat batu-batuan di bawahnya, merem terus dilemparkan dirinya. Tidak ada lecet meskipun sedikit. Datang kepada gurunya ditanya: “Terbuka mata atau merem?” “Merem.” Disuruh balik lagi dengan mata terbuka. Jadi tak gampang.

Justru itu kalau di hadapan seorang wali, jangan punya keinginan apa-apa. Harapkan dari kamu: “Saya ingin seperti apa yang diingini wali itu”, nanti akhirnya mendapatkan sesuatu yang besar.

(Dikutip dari Rouhah al-Habib Taufiq bin Abdulqadir Assegaf Pasuruan)






Minggu, 05 Mei 2013

Gubuk Kecil dan Istana Megah


DI MANA DAN AKAN KE MANA KEKAYAANMU?

Kisah Sufi Kaya Raya Hidup dalam Gubug Jelek

Tersebutlah seorang sufi bernama Nidzam al-Mahmudi. Ia tinggal di sebuah kampung terpencil, dalam sebuah gubuk kecil. Istri dan anak-anaknya hidup dengan amat sederhana. Akan tetapi, semua anaknya berpikiran cerdas dan berpendidikan.

Selain penduduk kampung itu, tidak ada yang tahu bahwa ia mempunyai kebun subur berhektar-hektar dan perniagaan yang kian berkembang di beberapa kota besar. Dengan kekayaan yang diputar secara mahir itu ia dapat menghidupi ratusan keluarga yang bergantung padanya.

Tingkat kemakmuran para kuli dan pegawainya bahkan jauh lebih tinggi ketimbang sang majikan. Namun, Nidzam al-Mahmudi merasa amat bahagia dan damai menikmati perjalanan usianya.

Salah seorang anaknya pernah bertanya: “Mengapa Ayah tidak membangun rumah yang besar dan indah. Bukankah Ayah mampu?”

Sang Ayah pun menjawab: “Ada beberapa sebab mengapa Ayah lebih suka menempati sebuah gubuk kecil:

1. Karena betapapun besarnya rumah kita, yang kita butuhkan ternyata hanya tempat untuk duduk dan berbaring. Rumah besar sering menjadi penjara bagi penghuninya. Sehari-harian ia cuma mengurung diri sambil menikmati keindahan istananya. Ia terlepas dari masyarakatnya dan ia terlepas dari alam bebas yang indah ini. Akibatnya ia akan kurang bersyukur kepada Allah.” Anaknya yang sudah cukup dewasa itu membenarkan ucapan ayahnya dalam hati. Apalagi ketika sang Ayah melanjutkan argumentasinya.

2. Dengan menempati sebuah gubuk kecil, kalian akan menjadi cepat dewasa. Kalian ingin segera memisahkan diri dari orang tua supaya dapat menghuni rumah yang lebih leluasa.

3. Kami dulu cuma berdua, Ayah dan Ibu. Kelak akan menjadi berdua lagi setelah anak-anak semuanya berumah tangga. Apalagi Ayah dan Ibu menempati rumah yang besar, bukankah kelengangan suasana akan lebih terasa dan menyiksa?”

Si anak tercenung, alangkah bijaknya sikap sang ayah yang tampak lugu dan polos itu. Ia seorang hartawan yang kekayaannya melimpah, akan tetapi keringatnya setiap hari selalu bercucuran.

Ia ikut mencangkul dan menuai hasil tanaman. Ia betul-betul menikmati kekayaannya dengan cara yang paling mendasar. Ia tidak melayang-layang dalam buaian harta benda sehingga sebenarnya bukan merasakan kekayaan, melainkan kepayahan semata-mata.

Sebab banyak hartawan lain yang hanya bisa menghitung-hitung kekayaannya dalam bentuk angka-angka. Mereka hanya menikmati lembaran-lembaran kertas yang disangkanya kekayaan yang tiada tara. Padahal hakikatnya ia tidak menikmati apa-apa kecuali angan-angan kosongnya sendiri.

Kemudian anak itu lebih terkesima tatkala ayahnya meneruskan: “Anakku, jika aku membangun sebuah istana anggun, biayanya terlalu besar. Dan biaya sebesar itu kalau kubangunkan gubuk-gubuk kecil yang memadai untuk tempat tinggal, berapa banyak tunawisma/ gelandangan bisa terangkat martabatnya menjadi warga terhormat?

Ingatlah anakku, dunia ini disediakan Tuhan untuk segenap mahklukNya. Dan dunia ini cukup untuk memenuhi kebutuhan semua penghuninya. Akan tetapi, dunia ini akan menjadi sempit dan terlalu sedikit, bahkan tidak cukup, untuk memuaskan hanya keserakahan seorang manusia saja.”







Pelit Sama Guru Ngaji


Ayah mbah Hamid Pasuruan berpesan kepada guru mbah Hamid begini,

"Pak yai, saya ini cuma bisa mencukupi kebutuhan lahiriyah Hamid saja, kebutuhan batinnya saya tidak bisa.
Tolong pak yai anda didik Hamid, saya titip Hamid pada anda, saya janji memberikan 50% dari hasil kerja saya sebagai tukang narik delman untuk anda".

Beliau mengucapkan itu sambil nangis. . .

Bagaimana dengan anda yang sudah punya anak? berani bagi hasil tidak?
Jangan salahkan anak anda bodoh, kalau anda masih pelit sama ulama.. :D



Syair Imam Syafi'i Tentang Budi Pekerti


Syair Imam asy-Syafi’i
(Perihal Harga Diri dan Budi Pekerti)

Ketika aku direndahkan ketika itulah aku bertambah tinggi

Tidaklah bagiku cela melainkan jika aku turut memaki
Jikalaulah tidak ada padaku keluhuran jiwa

Pasti kan kulawan setiap siapa tukang menghina
Meski aku juga bekerja untuk kenikmatan diri

Kautahu aku lebih banyak tak peduli dengan yang kucari
Tapi aku bekerja untuk memberi manfaat kepada para kawan
Dan tercelalah mereka yang kenyang saat kawan kelaparan

Orang bodoh mengajakku bicara dengan segala umpat
Dan aku muak untuk memberi padanya kata jawab

Ia bertambah bebal sedang aku bertambah pintar
Seumpama cendana, bertambah wangilah jika terbakar

Jika orang bodoh bercakap janganlah kautanggapi
Karena jawaban terbaik baginya adalah berdiam diri

Jika kau menanggapi kata-katanya, ia makin tinggi
Jika kau berpaling, kau telah memasukkannya ke peti mati






Ngajinya Sampai Dimana Tadi ?

- Gus Dur dan Kiai Khudori Naik Selinder Saat Ngaji -

Alkisah, Abdurrohman Wahid alias Gus Dur ketika masih remaja dipondokkan ke Ulama teman ayahnya, KH Abdul Fattah, Tambakberas, Jombang. Mengingat Gus Dur adalah putra temannya sendiri yang juga seorang Ulama, Kiai Fattah mulang ngaji secara khusus kepada Gus Dur. Tidak dikumpulkan dengan santri-santri yang lain.

Agar Gus Dur tidak sendirian, maka dipanggillah seorang santri lain yang sebaya Gus Dur bernama Khudhori.

Tibalah saatnya mengajar Gus Dur dan Khudhori. Yang namanya Ulama besar, Kiai Fattah pastilah sudah sangat sibuk sekali. Sehingga tiba saatnya mengajar Gus Dur sudah kelelahan. Acapkali di tengah-tengah mengajar Kiai Fattah tertidur pulas. Dua bocah di depannya hanya bisa bengong menunggu gurunya yang tengah tertidur.

Saat itulah ada selinder lewat di depan pondok.

“Ayo naik selinder itu!” Ajak Gus Dur tiba-tiba pada Khudhori, setelah tahu gurunya tertidur pulas saat mengajar.

Mereka segera menghambur keluar dan naik selinder yang berjalan bak bekicot itu. Walaupun jalannya lambat, mereka sampai juga di Mojoagung, kampung sebelah. Merasa sudah jauh, mereka turun dan kembali pulang ke pondok.

Sampai di pondok,didapati -nya Kiai Fattah masih tertidur. Namun tidak lama kemudian terbangun.

“Sampai di mana tadi?” tanya Kiai bermaksud menanyakan halaman kitab kuning yang akan diajarkan.

”Sampai di Mojoagung, Yi...!!!” Spontan Khudhori menjawab.

Kiai Fattah: ”?????......”

Gus Dur :"Hahahahaha..... -"gusdur hanya tertawa ngakak.

Belakangan Gus Dur dan Khudhori menjadi Ulama besar di zamannya.


( Diceritakan oleh KH Yahya Cholil Staquf ) 






Bertawasul Selama 41 Hari


- Berguru Dalam Mimpi -

Pada waktu Syeikh Kholil masih muda, ada seorang Kiai yang terkenal di daerah Wilungan, Pasuruan bernama Abu Darrin. Kealimannya tidak hanya terbatas di lingkungan Pasuruan, tetapi sudah menyebar ke berbagai daerah lain, termasuk Madura. Kholil muda yang mendengar ada ulama yang mumpuni itu, terbetik di hatinya ingin menimba ilmunya. Setelah segala perbekalan dipersiapkan, maka berangkatlah Kholil muda ke pesantren Abu Darrin dengan harapan dapat segera bertemu dengan ulama yang dikagumi itu.Tetapi alangkah sedihnya ketika dia sampai di Pesantren Wilungan, ternyata Kiai Abu Darrin telah meninggal dunia beberapa hari sebelumnya. Hatinya dirundung duka dengan kepergian Kiai Abu Darrin.

Namun karena tekad belajarnya sangat menggelora maka Kholil segera sowan ke makam Kiai Abu Darrin. Setibanya di makam Abu Darrin, Kholil lalu mengucapkan salam lalu berkata: bagaimana saya ini Kiai, saya masih ingin berguru pada Kiai, tetapi Kiai sudah meninggal desah Kholil sambil menangis. Kholil lalu mengambil sebuah mushaf Al Quran. Kemudian bertawassul dengan membaca Al Quran terus menerus sampai 41 hari lamanya. Pada hari ke-41 tiba-tiba datanglah Kiai Abu Darrin dalam mimpinya. Dalam mimpi itu, Kiai Abu Darrin mengajarkan beberapa ilmunya kepada Kholil. Setelah dia bangun dari tidurnya, lalu Kholil serta merta dapat menghafal kitab Imriti, Kitab Asmuni dan Alfiyah.

- Syaikhona Kholil Bangkalan -





Bersedih Karena Dunia, Susah di Akhirat


FIRMAN DALAM HADITS QUDSY UNTUK HATI YANG GUNDAH

“Wahai anak Adam! Siapa yang bersedih karena dunia, hal itu hanya akan menjauhkannya dari Allah.
Di dunia dia lelah, di akhirat mendapat susah. Allah akan membuat hatinya selalu risau, selalu sibuk
berkepanjangan, -miskin tak pernah bisa kaya, dan selalu diliputi oleh angan-angan.

Wahai anak Adam! Umurmu setiap hari berkurang, tapi engkau tidak mengetahui, Setiap hari Aku
datang membawa rezekimu, tapi engkau tak pernah puas dengan yang sedikit, dan tak pernah
kenyang dengan harta yang banyak.

Wahai anak Adam! Setiap hari aku berikan rezeki padamu. Sementara setiap malam para malaikat
datang pada-Ku membawa amal burukmu. Engkau makan rezeki-Ku, tapi engkau bermaksiat kepada-
Ku. Engkau berdoa kepada-Ku, maka akan Aku kabulkan. Kebaikan-Ku tercurahkan untukmu, tetapi
kejahatanmu yang sampai kepada-Ku. Sebaik-baik kekasihmu adalah Aku. Sedangkan seburuk-buruk
hamba-Ku adalah engkau. Engkau lepaskan apa yang Kuberikan padamu. Kututupi keburukanmu
setelah sebelumnya terbuka. Aku malu padamu, tetapi engkau tak pernah malu pada-Ku.

Engkau
melupakan-Ku dan mengingat yang lain. Engkau merasa takut pada manusia, dan merasa aman dari-
Ku. Engkau takut pada murka mereka dan tidak takut dengan murka-Ku.”

----Hadis Qudsi, dikutip dari kitab Kimiya As-Sa’adah karya Imam Al-Ghazali





Maliki Yaumiddin atau Maaliki Yaumiddin


- SAMBUTAN SYAIKHONA KHOLIL KEPADA TAMUNYA -

Suatu ketika, Habib Jindan bin Salim berselisih pendapat dengan seorang ulama, manakah pendapat yang paling sahih dalam ayat ‘Maliki yaumiddin’, maliki-nya dibaca ‘maaliki’ (dengan memakai alif setelah mim), ataukah ‘maliki’ (tanpa alif).Setelah berdebat tidak ada titik temu. Akhirnya sepakat untuk sama-sama datang ke Kiyahi Keramat; Kiyahi Khalil Bangkalan.

Ketika itu Kiyahi yg jadi maha guru para kiyahi pulau Jawa itu sedang duduk di dalam mushala, saat rombongan Habib Jindan sudah dekat ke Mushola sontak saja kiyahi Khalil berteriak. Maaliki yaumiddin ya Habib, Maaliki yaumiddin Habib, teriak Kiyahi Khalil Bangkalan menyambut kedatangan Habib Jindan.

Tentu saja dengan ucapan selamat datang yg aneh itu, sang Habib tak perlu bersusah payah menceritakan soal sengketa Maliki yaumiddin ataukah maaliki yaumiddin itu.

Demikian cerita Habib Lutfi bin Yahya ketika menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam bacaan ayat itu pada Tafsir Thabari.








Fakir Terikat dan Kaya Terbebas


TERLEPAS DARI BEBAN DUNIA

Seorang nelayan yang shalih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.

Nelayan itu lalu berguru kepada sufi besar, Ibnu ‘Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar Ibnu ‘Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.

Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibnu ‘Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh”, ujar mereka.

Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa mewah dunia Ibnu ‘Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana. Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan itu.

Sepanjang perjalanan, ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan dan ternak itu tak lain ialah Ibnu ‘Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri: “Bagaimana mungkin seorang materialis seperti itu menjadi seorang guru sufi?”

Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh permadani mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.

Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibnu ‘Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali.

Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan serta mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibnu ‘Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.

Si murid lalu dibawa menghadap Ibnu ‘Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibnu ‘Arabi mengatakan kepadanya: “Katakanlah pada gurumu, yang menjadi problem baginya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”

Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya.

“Lalu, apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?” tanya sang guru.

Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibnu ‘Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkelimangan harta yang ia lihat pada kehidupan Ibnu ‘Arabi dan betapa berkekurangan kehidupan gurunya sendiri.

Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi. Mendengar itu semua, sang guru itu berurai air mata. Muridnya tambah keheranan, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.

“Dia benar. Ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh”, jawab sang guru.







Secuil Syubhat Yang Menghalangi Doa


PENYEBAB DOA TAK TERKABULKAN

“Jangankan yang Haram, Secuil Syubhat pun sudah Cukup Membuktikan”

Usai menunaikan ibadah haji, Sayyiduna Ibrahim bin Adham berniat ziarah ke Masjidil Aqsha. Untuk bekal di perjalanan, ia membeli 1 kg kurma dari pedagang tua di dekat Masjidil Haram. Setelah kurma ditimbang dan dibungkus, Ibrahim melihat sebutir kurma terletak dekat timbangan. Menyangka kurma itu bagian dari yang ia beli, Ibrahim bin Adham memungut dan memakannya. Setelah itu ia langsung berangkat menuju Masjidil Aqsha.

4 bulan kemudian, Ibrahim bin Adham tiba di Masjidil Aqsha. Seperti biasa, ia lebih memilih sebuah tempat beribadah pada sebuah ruangan di bawah kubah Sakhra. Ia shalat dan berdoa dengan khusyuk. Tiba-tiba ia mendengar percakapan dua Malaikat tentang dirinya.

“Itu Ibrahim bin Adham, ahli ibadah yang zuhud dan wara yang doanya selalu dikabulkan Allah Swt”, kata malaikat.

“Tetapi sekarang tidak lagi. Doanya ditolak karena 4 bulan yang lalu ia memakan sebutir kurma yang jatuh dari meja seorang pedagang tua di dekat Masjidil Haram,” jawab malaikat yang satu lagi.

Ibrahim bin Adham terkejut sekali dan terhenyak. Jadi selama 4 bulan ini ibadahnya, shalatnya, doanya dan mungkin amalan-amalan lainnya tidak diterima oleh Allah Swt. hanya gara-gara memakan sebutir kurma yang bukan haknya. “Astaghfirullahal ‘adzhim” Ibrahim bin Adham beristighfar. Ia langsung berkemas untuk berangkat lagi ke Mekkah menemui pedagang tua penjual kurma untuk meminta dihalalkan sebutir kurma yang telah ditelannya.

Sesampainya di Mekkah ia langsung menuju tempat penjual kurma itu, tetapi ia tidak menemukan pedagang tua itu melainkan seorang anak muda.

“4 bulan yang lalu saya membeli kurma di sini dari seorang pedagang tua. Ke mana ia sekarang?” tanya Ibrahim bin Adham.

“Sudah meninggal sebulan yang lalu, saya sekarang meneruskan pekerjaannya berdagang kurma”, jawab pemuda itu.

“Innalillahi wa inna ilaihi roji’un, kalau begitu kepada siapa saya meminta penghalalan?” Kemudian Ibrahim bin Adham menceritakan peristiwa yang dialaminya. Anak muda itu mendengarkannya dengan seksama.

“Nah, begitulah. Engkau sebagai ahli waris orangtua itu, maukah engkau menghalalkan sebutir kurma milik ayahmu yang terlanjur kumakan tanpa izinnya?” kata Ibrahim bin Adham setelah bercerita.

“Bagi saya tidak masalah. Insya Allah saya halalkan. Tapi entah dengan saudara-saudara saya yang jumlahnya 11 orang. Saya tidak berani mengatasnamakan mereka karena mereka mempunyai hak waris sama dengan saya”, jawab pemuda itu.

“Di mana alamat saudara-saudaramu? Biar saya temui mereka satu persatu.”

Setelah menerima alamat, Ibrahim bin Adham pergi menemui mereka. Setelah jumpa dengan mereka akhirnya semua setuju menghalakan sebutir kurma milik ayah mereka yang termakan oleh Ibrahim bin Adham.

4 bulan kemudian, Ibrahim bin Adham sudah berada di bawah kubah Sakhra. Tiba-tiba ia mendengar dua malaikat yang dulu terdengar lagi bercakap-cakap.

“Itulah Ibrahim bin Adham yang doanya tertolak gara-gara makan sebutir kurma milik orang lain”, kata malaikat.

“Oh tidak, sekarang doanya sudah makbul lagi, ia telah mendapat penghalalan dari ahli waris pemilik kurma itu. Diri dan jiwa Ibrahim kini telah bersih kembali dari kotoran sebutir kurma yang haram karena masih milik orang lain. Sekarang ia sudah bebas”, kata malaikat yang satunya lagi.







Cerita Karomah al Habib Mundzir bin Fuad al Musawa


Cerita Karomah (Kemuliaan) Guru Mulia Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa

1. Al-Habib Munzir al-Musawa Tidak Memiliki Rumah

Seseorang pernah bertanya kepada Habib Munzir: “Wahai Habib, bukankah Rasul Saw. juga punya rumah walau sederhana?”
Beliau Habib Munzir tertegun dan menangis, beliau berkata: “Iya betul, tapi kan Rasul Saw. juga tidak beli tanah, beliau diberi tanah oleh kaum Anshar, lalu bersama-sama membangun rumah, saya takut dipertanyakan Allah kalau ada orang muslim yang masih berumahkan koran di pinggir jalan dan digusur-gusur, sedangkan bumi menyaksikan saya tenang-tenang di rumah saya.”

2. Perjumpaan Al-Habib Munzir dengan Wali Besar Tarim

Seorang wali besar Tarim, salah satu guru al-Habib Umar bin Hafidz yang bernama al-Habib Abdul Qadir al-Masyhur, saat al-Habib Munzir datang menjumpainya, maka al-Habib Abdul Qadir al-Masyhur yang ketika itu usianya sudah tua renta langsung menangis dan berkata: “Wahai Muhammad…! (Saw.)”
Maka al-Habib Munzir berkata: “Saya Munzir, nama saya bukan Muhammad.”
Lalu al-Habib Abdul Qadir al-Masyhur berkata: “Engkau Muhammad Saw.!, Engkau Muhammad Saw.!”
Maka al-Habib Munzir diam. Kemudian saat al-Habib Umar bin Hafidz datang maka segera al-Habib Abdul Qadir al-Masyhur berkata: “Wahai Umar, inilah Maula Jawa (Tuan Penguasa Pulau Jawa)”
Al-Habib Umar bin Hafidz pun hanya tersenyum mendengarnya.

3. Kesaksian Seorang Ibu dari Australia Jama’ah Majelis Rasulullah Saw.

Kita saksikan, ke manapun al-Habib Munzir pergi pasti disambut tangis ummat dan cinta. Bahkan sampai ke pedalaman Irian, ongkos sendiri, masuk ke daerah yang sudah ratusan tahun belum dijamah para da’i, ratusan orang yang sudah masuk Islam di tangan al-Habib Munzir, banyak orang bermimpi Rasul Saw. selalu hadir di majelisnya.
Dikisahkan bahwa ada seorang ibu-ibu dari Australia yang selalu mimpi jumpa Rasulullah Saw. Ia sudah bai’at dengan banyak thariqah, dan 10 tahun ia tak lagi bisa melihat Rasul Saw. entah kenapa. Namun ketika ia hadir di Majelis al-Habib Munzir tepatnya yaitu saat Majelis Rasulullah Saw. Digelar di Masjid Almunawar, ia bisa melihat lagi Rasulullah Saw.
Maka si ibu itu berkata: ”Sungguh Habib yang satu ini adalah Syeikh Futuhku, dia membuka hijabku tanpa ia mengenalku, dia benar-benar dicintai oleh Rasulullah Saw.”
Lalu kabar tersebut disampaikan kepada al-Habib Munzir, dan beliau hanya menunduk malu.

4. Al-Habib Munzir Saat Diminta Mendoakan Al-Habib Umar Maulakhela

Ketika banyak orang yang meminta supaya al-Habib Umar Maulakhela didoakan agar sembuh dari sakitnya, maka beliau al-Habib Munzir dengan tenang menjawab: “Al-Habib Novel bin Jindan yang akan wafat, dan al-Habib Umar Maulakhela masih panjang usianya.”
Benar saja, keesokan harinya al-Habib Novel bin Jindan wafat, dan al-Habib Umar Maulakhela sembuh dan keluar dari opname.

5. Al-Habib Munzir Saat Diminta Mendoakan Al-Habib Anis Al-Habsyi

Ketika al-Habib Anis al-Habsyi Solo sakit keras dan dalam keadaan kritis, orang-orang mendesak al-Habib Munzir untuk menyambangi dan mendoakan al-Habib Anis, maka beliau berkata pada orang-orang dekatnya bahwa al-Habib Anis akan sembuh dan keluar dari opname, Insya Allah kira-kira masih sebulan lagi usia beliau.
Betul saja, al-Habib Anis sembuh, dan sebulan kemudian wafat.

6. Kejadian Hendak Meletusnya Gunung Papandayan

Ketika Gunung Papandayan bergolak dan sudah dinaikkan posisinya dari siaga 1 menjadi “Awas”, maka al-Habib Munzir dengan santai berangkat ke sana.
Sesampainya ke ujung kawah, al-Habib Munzir berdoa dan melemparkan jubahnya ke kawah. Sesaat kemudian kawah itu reda hingga kini. Kejadian ini sudah bertahun-tahun yang lalu sekitar 8 tahunan dan VCD/ -dokumentasinya disimpan di markas Majelis Rasulullah Saw. namun beliau al-Habib Munzir melarang untuk disebarkan.

7. Kisah Sang Dukun Beji Depok 1

Ketika al-Habib Munzir masuk ke wilayah Beji Depok, yang terkenal dengan sihir dan para dukun jahatnya, malam itu al-Habib Munzir mengadakan acara Maulid Nabi Saw.
Keesokan harinya seorang dukun mendatangi panitia acara tersebut dan berkata: “Saya ingin jumpa dengan Tuan Guru yang semalam buat Maulid di sini..!”
Orang-orang yang melihat dan mendengarnya menjadi kaget, karena dia terkenal dukun jahat dan tak pernah shalat serta tak mau dekat dengan ulama pun juga sangat ditakuti.
Ketika ditanya kenapa, dukun itu menjawab: “Saya mempunyai 4 Jin khodam, semalam mereka lenyap, lalu Shubuh tadi saya lihat mereka (para Jin khodam itu) sudah pakai baju putih dan sorban dan sudah masuk Islam. Ketika kutanya kenapa kalian masuk Islam dan jadi begini?, maka Jin-jin ku menjawab: “Apakah juragan tidak tahu? Semalam ada Kanjeng Rasulullah Saw. hadir di acara al-Habib Munzir, kami masuk Islam karenanya.”

8. Kisah Sang Dukun Beji Depok 2

Seorang dukun di Beji Depok yang mempunyai dua ekor macan jadi-jadian yang dipergunakan untuk menjaga rumahnya. Malam itu macan jejadiannya hilang, kemudian ia mencarinya. Ia menemukan kedua macan jadi-jadiannya itu sedang duduk bersimpuh di depan pintu masjid mendengarkan ceramah al-Habib Munzir.

9. Gangguan Jahat Menyerang Murid-murid Al-Habib Munzir

Saat berapa murid al-Habib Munzir berangkat ke Kuningan Jawa Barat, daerah yang terkenal ahli santet dan jago sihirnya, maka al-Habib Munzir menepuk bahu muridnya dan berkata: “Ma’annabiy...! -, berangkatlah, Rasul Saw. bersama kalian.”
Maka saat mereka membaca maulid, tiba-tiba terjadi angin ribut yang mengguncang rumah itu dengan dahsyat, lalu mereka meminta kepada Allah perlindungan, dan teringat al-Habib Munzir dalam hatinya. Tiba-tiba angin ribut tersebut reda, dan mereka semua mencium aroma minyak wangi yang biasa dipakai al-Habib Munzir yang seakan lewat di hadapan mereka. Dan terdengar pula ledakan bola-bola api di luar rumah yang tak bisa masuk ke rumah itu.
Ketika mereka pulang dan diceritakan semua kejadian tersebut kepada al-Habib Munzir, beliau hanya senyum dan menunduk malu.


10. Saat Al-Habib Munzir Berdakwah di Bali

Saat al-Habib Munzir berkunjung ke Bali dan hendak menginap di salah satu hotel, berkatalah muslimin di sana: “Habib, semua hotel penuh, kami tempatkan Habib di tempat yang dekat dengan kediaman Raja Leak (Raja Dukun Leak di Bali).”
Maka al-Habib Munzir membalasnya dengan senyuman pertanda setuju.
Keesokan harinya Raja Leak itu, yang terkenal sangat jarang keluar dari dalam rumahnya, siang itu dia keluar dari sarangnya seraya berkata: “Saya mencium wangi Raja dari Pulau Jawa ada di sekitar sini semalam.”

11. Sikap Al-Habib Munzir Terhadap Pencacinya

Dulu saat ramai-ramainya berita tentang Ahmadiyyah muncul, al-Habib Munzir dicaci-maki oleh seseorang dengan sebutan Munzir Ghulam Ahmad!, dengan alasan al-Habib Munzir tidak mau ikut demo anti Ahmadiyah.
Al-Habib Munzir tetap senyum dan bersabar dalam menanggapinya, beliau memilih jalan damai dan membenahi ummat dengan kedamaian daripada kekerasan. Dan al-Habib Munzir sudah memaafkan si pencaci itu sebelum orang itu meminta maaf padanya. Bahkan al-Habib Munzir saat itu menginstruksika -n agar jamaahnya jangan ada yang mengganggu si pencaci yang disebut-sebut sebagai Da’i itu.
Beberapa waktu kemudian, tepatnya saat Majelis Rasulullah Saw. digelar di masjid Almakmur Tebet, al-Habib Munzir malah duduk berdampingan dengan si pencaci itu. Al-Habib Munzir tetap ramah dan sesekali bercanda dengan Da’i yang pernah mencacinya sebagai murtad dan pengikut Ahmadiyah.


Alhasil masih sangat banyak kisah-kisah kemuliaan Guru Mulia al-Habib Munzir al-Musawa. Semoga dari yang secuil ini bisa dijadikan pelajaran dalam kehidupan kita, mampu kita teladani akhlak luhur beliau sebagaimana yang pernah dicontohkan juga oleh Kakek beliau Rasulullah Saw. Dan semoga Allah Swt. Memanjangkan usia beliau Guru Mulia al-Habib Munzir al-Musawa dalam keadaan sehat wal ‘afiyat. Aamiin aamiin yaa Mujiibassaailii -n.


Ditulis ulang dari berbagai sumber oleh: Ustadz kami, Sya’roni As-Samfuriy, 03 Rabi’ul Awwal 1434 H

Karomah Habib Luthfi dan Orang Patah Tulang


Habib Luthfi bin Yahya dan Habib Mundzir al-Musawa

Kisah tentang sebuah niat yang mengalahkan logika ilmiah. Kisah nyata Muhammad Syamsuri, beliau adalah Anggota Helm aktif (Grup Helm MR yaitu aktivis Majelis Rasulullah saw yang bertugas mengatur lalu lintas dan menghimbau Jama’ah Majelis Rasulullah saw agar mematuhi peraturan lalu lintas dan menggunakan helm bagi pengendara motor, serta mengatur kelancaran lalu lintas ketika ada pengajian Majelis Rasulullah saw.)

Kisah ini dialami oleh saudara kita, namanya Muhammad Syamsuri. Beberapa waktu lalu beliau kecelakaan mobil di Tol Cipularang dan mengalami retak tulang kaki sehingga harus menggunakan kursi roda. Dokter sudah angkat tangan. Namun Syam tidak putus asa. Ia pergi ke Habib Luthfi bin Yahya Pekalongan untuk minta doa. Syam ini adalah murid Habib Luthfi.

Pertama kali bertemu, Habib Luthfi bertanya kepada Syam tentang niatnya jika kakinya sembuh. Syam menjawab bahwa ia ingin kembali kerja di Jakarta. Spontan Habib Luthfi menjawab bahwa ia tidak mungkin sembuh seumur hidup, harus memakai kursi roda. Syam dan keluarganya menangis mendengar kabar itu. Setelah itu Habib Luthfi pun pergi dan membiarkan Syam selama 3 minggu di rumahnya.

Selama waktu itu Syam hanya bengong dan meratapi nasibnya. Hingga suatu malam Syam bermimpi didatangi Habib Munzir al Musawa yang lantas rebahan di samping Syam dan memberikan lembar jadwal majlis MR sambil berbisik,"Bilang Habib Luthfi bahwa kamu ikut saya di Jakarta".

Pagi harinya Syam lantas menemui Habib Luthfi dan berkata bahwa ia di Jakarta membantu dakwah Habib Munzir dengan mengatur lalu lintas. Mendengar hal itu Habib Luthfi kaget dan lantas bertanya apa yang menyebabkan dia berubah niat? Syam lantas menceritakan mimpinya. Habib Lutfi kemudian memeluk Syam dan berkata,"Kamu besok sembuh. Pulang ke Jakarta berkah". Habib Luthfi kemudian mengusap kaki Syam dengan air beberapa kali.

Malam harinya yaitu Senin malam bertepatan dengan majlis rutin MR di Al Munawar minggu lalu, jam 21.00 kaki Syam sudah bisa digerakkan dan bisa untuk berjalan. Akhirnya Syam bisa berjalan seperti sebelumnya dan kini Syam sudah kembali membantu dakwah Habib Munzir dengan aktif membantu mengatur lalu lintas di Al Munawar.

Karomah dua orang wali dan niat yang lurus mengalahkan logika ilmiah medis yang sudah mengatakan tidak akan sembuh. Subhanallah








Karomah Habib Ali bin Ja'far al-Aydrus


Perjumpaan al-Habib Mundzir bin Fuadz al-Musawa dengan Waliyullah Malaysia.

Al-Habib Mundzir al-Musawa sering berkunjung pada al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus manakala beliau sedang berada di Malaysia. Al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus sangat gembira jikalau ada al-Habib Mundzir datang.

Beliau al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus selalu tersenyum gembira. Sesaat kemudian al-Habib Munzdir meminta doa dari beliau, maka beliau pun berdoa untuknya. Biasanya al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus selalu menolak untuk berdoa kecuali tamunya yang mesti berdoa, namun permintaan kali ini tak ditolak oleh beliau seraya mengangkat kedua tangannya setinggi-tinggi nya hingga ke atas kepala. Kedua telapak tangannya dipadukan, dan wajah beliau menunduk. Suara rintih keluar dari bibirnya tak bisa dipastikan apa yang diucapkannya. Benar-benar gerakan doa yangg menggambarkan posisi yang sedang sangat mengemis pada Dzat Yang Maha Luhur. Belum pernah al-Habib Mundzir melihat seseorang yang berdoa dengan posisi sekhusyu’ dan seperti ini dalam merendahkan dirinya pada Allah Swt.

Setelah itu al-Habib Mundzir pamitan seraya berkata lembut: “Saya pamit wahai Habib...”

Beliau al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus menunduk dan berkata dengan lembut pula: “Tidak makan dulu kah?”

Al-Habib Mundzir menjawab: “Saya pamit jika habib ridho.”
Beliau al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus pun berdiri dan mengizinkan kepergian al-Habib Mundzir, lalu terbersit dalam hati al-Habib Mundzir: “Aku terbebani hutang sangat besar karena masalah perluasan dakwah di Indonesia, mudah-mudahan kedatanganku ke sini bisa membuat Allah menyelesaikan masalah hutang-hutangku , beban beratku ini kutumpahkan pada al-Habib Ali, semoga Allah Swt. meringankanku”, demikian renungan al-Habib Mundzir saat itu sambil melangkah keluar dari kediaman beliau.

Saat itu al-Habib Mundzir tidak sendiri, ada beberapa orang yang bersamanya. Mereka berkata: “Kami sering kunjung ke sini, belum pernah al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus mau berdoa kecuali saat kamu yang memintanya, belum pernah al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus izinkan kami pamitan di waktu makan kecuali saat kamu yang minta izin pulang.”

Dan salah satu diantara mereka adalah seorang pengusaha yang sukses. Maka ketika al-Habib Mundzir beserta rombongan sudah keluar rumah, al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus memanggil orang itu dan membisikinya sesuatu, lalu beliau masuk ke dalam rumah.

Orang tersebut mendatangi al-Habib Mundzir dan berkata: “Habib Ali berkata pada saya, kamu punya hutang dakwah yang besar dan berat yang harus dibayarkan. Saya diperintah al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus untuk melunasi semua hutangmu.”

Al-Habib Mundzir kaget dan berpaling pada al-Habib Ali bin Ja’far al-Aydrus, namun beliau sudah masuk ke dalam rumah dan menutup pintu.