Minggu, 12 Mei 2013

Kedua Kakiku Berada Di Atas Pundak Para Wali


SENANTIASA MENATA HATI

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani di usia mudanya adalah seorang yang sangat jenius, cerdas dan gemar menuntut ilmu. Beliau mempunyai dua orang sahabat yaitu Ibnu as-Saqa dan Abu Said Abdullah ibnu Abi Usrun, keduanya juga dikenal sebagai sosok yang cerdas.

Suatu saat Syaikh Abdul Qadir al-Jailani beserta kedua temannya itu sepakat untuk mengunjungi seorang wali Allah yang bernama Syaikh Yusuf al-Hamdani (440H-535H, beliau adalah Abu Ya’qub Yusuf ibn Ayyub ibn Yusuf ibn al-Husain al-Hamdani murid dari Syaikh Abu ‘Ali al-Farmidhi murid dari Imam al-Ghazali), yang dikenal sebagai al-Ghauts (seorang ahli ibadah yang shaleh, wali Allah yang tinggal di pinggir kota) namun beliau dikunjungi banyak orang.

Sebelum berangkat, Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun berdiskusi mengenai niat atau maksud dari ziarah yang ingin mereka lakukan. Ibn as-Saqa berkata: “Aku akan menanyakan persoalan yang susah agar ia bingung dan tidak bisa menjawabnya.”

Kemudian Ibn Abi Usrun juga berkata: “Aku akan ajukan pertanyaan ilmiah, dan aku ingin melihat apakah yang ingin beliau katakan.”

Akan tetapi Syaikh Abdul Qadir al-Jailani hanya diam membisu. Maka bertanyalah Ibn as-Saqa dan Ibn Abi Usrun kepada beliau: “Bagaimana pula dengan engkau, wahai Abdul Qadir?”

Syaikh Abdul Qadir al-Jailani menjawab: “Aku berlindung dengan Allah dari mempertanyakan permasalahan yang sedemikian. Aku hanya ingin ziarah untuk mengambil berkah darinya.”

Kemudian berangkatlah ketiganya menuju rumah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts. Setelah dipersilahkan masuk oleh al-Ghaus, beliau meninggalkan mereka beberapa saat.

Setelah menunggu agak lama, barulah Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts keluar dengan pakaian kewaliannya untuk menemui mereka dan berkata: “Wahai Ibn as-Saqa, kamu berkunjung ke mari untuk mengujiku dengan permasalahan demikian, jawabnya adalah demikian (Syaikh Yusuf al-Hamdani menjelaskan jawabannya beserta dengan nama kitab yang dapat dijadikan rujukan). Ia kemudian berkata kepada Ibnu as-Saqa: “Keluarlah kamu! Aku melihat api kekufuran menyala-nyala di antara tulang-tulang rusukmu.”

“Sedangkan kamu, ya Ibnu Abi Usrun, kamu ke mari dengan tujuan menanyakan permasalahan ilmiah, jawabnya adalah demikian. (Syaikh Yusuf al-Hamdani lalu menjelaskan jawabannya berserta nama kitab yang membahas persoalan itu). Keluarlah kamu! Aku melihat dunia mengejar-ngejar kamu.”

Kemudian Syaikh Yusuf al-Hamdani al-Ghauts melihat kepada Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, lantas berkata: “Wahai anakku Abdul Qadir, engkau diridhai Allah dan RasulNya dengan adabmu yang baik. Aku melihat engkau kelak akan mendapat kedudukan di Baghdad dan memberi petunjuk kepada manusia. Apa yang kamu inginkan insya Allah akan tercapai. Aku melihat bahwa kamu nanti akan berkata: “Kedua kakiku ini berada di atas pundak setiap para wali.”

Mereka bertiga kemudian keluar dari rumah al-Ghauts.

Beberapa tahun kemudian, Ibnu as-Saqa diperintahkan raja untuk berdebat dengan pemuka agama Nasrani. Perdebatan ini atas permintaan Raja Nasrani. Penduduk negeri telah sepakat bahwa mereka sebaiknya diwakili oleh Ibn as-Saqa. Dialah orang yang paling cerdas dan alim di antara kita, kata mereka.

Maka berangkatlah Ibn as-Saqa untuk berdebat dengan pemuka agama Nasrani. Sesampainya Ibnu as-Saqa di negeri kaum Nasrani, dia terpikat dengan seorang wanita pada pandangan pertamanya. Lalu dia menghadap ayah si wanita untuk meminangnya. Ayah perempuan itu menolak, melainkan jika Ibn as-Saqa terlebih dahulu memeluk agama mereka (Nasrani). Dia pun dengan serta merta menyatakan persetujuan dan memeluk agama mereka, menjadi seorang Nasrani.

Sedangkan Ibnu Abi Usrun, dia ditugaskan Raja Sultan ash-Shaleh Nuruddin asy-Syahid, untuk menangani urusan wakaf dan sedekah. Akan tetapi kilauan dunia selalu datang menggodanya dari berbagai penjuru hingga akhirnya ia jatuh dalam pelukannya.

Adapun Syaikh Abdul Qadir al-Jailani, kedudukannya terus menjulang tinggi di sisi Allah juga di sisi manusia sehingga sampai suatu hari beliau berkata: “Kedua kakiku ini berada di atas leher setiap wali.” Suara beliau didengar dan dipatuhi oleh seluruh wali ketika itu. Bahkan hingga mencapai maqam/ kedudukan peringkat tertinggi sebagai Sulthanul Auliya di masanya.

(Al-Kawakib ad-Duriyyah ‘ala al-Hadaiq al-Wardiyyah fi Ajlaa’ as-Saadat an-Naqsyabandiyah karya Syaikh Abdul Majid bin Muhammad bin Muhammad al-Khani asy-Syafi’i).