Minggu, 12 Mei 2013

Simpan dan Jangan Disebarkan


ADAB/TATA KRAMA KETIKA SOWAN BERHADAPAN DENGAN WALI ALLAH

Di dalam qashidah “Uktum Hawana” karya Syekh Abubakar bin Salim terdapat bait-bait berikut ini:

“Simpanlah apa yang aku senangi, jika kamu mengharapkan ridhaku. Jangan sampai disebar-sebarkan rahasiaku kepada orang selain kami.”

Kami di sini yang dimaksud adalah para auliya’. Dan Syekh Abubakar bin Salim adalah pemimpinnya.

“Kamu harus tawadhu’ kepada kami kalau kamu ingin berhubungan dengan kami. Tinggalkan segala keinginan kamu kalau kamu ingin keinginanku.”

Jadi di hadapan auliya’ harus kosong, tidak ada kesombongan (kibr) sedikitpun, harus tawadhu’ Jangan ingin macam-macam,yang akhirnya kamu tak mendapatkan berkah. “Baghoina fulus, baghoina tajir, ingin uang banyak”. Jangan minta apa-apa! Nanti dia akan mengisi sebagaimana yang dia harapkan. Harapan kamu itu harapan remeh, sedangkan harapan dia untuk kamu adalah harapan yang besar. Jangan kamu berharap bagaimana kamu dapat uang banyak, rizkinya banyak, dll. Kosongkan hati kamu, baru nanti akan diisi asrar oleh mereka.

Kenapa? Harapan dia untuk diri kamu, yang diharapkan oleh auliya’, yang diinginkan auliya’ untuk diri kamu itu lebih besar dari apa yang diharapkan kamu untuk diri kamu. Jadi di hadapan mereka mestinya diam saja. Lebih baik kamu jadi tong kosong. Tong kosong tapi jangan nyaring bunyinya. Jadi perlu untuk farogh, perlu bersih hati, jangan berharap apa-apa.

Saya ingin ini, ingin itu, tidak usah kepingin sudah. Buang itu kepingin, tapi katakan dalam hati kamu: “Saya ingin yang diingini oleh wali ini. Saya ingin apa yang diingini oleh orang ‘arif ini”, niscaya kamu akan sampai seperti mereka nanti.

Syeikh Abu Yazid al-Busthami berkata: “Lau i’taqodtum anna al-bissa ta’kulu al-faaroh bighoiri idznii, maa ahsantum adz-dzonn bii.” (Wahai santriku, kalau seandainya kamu masih meyakini ada kucing makan tikus bukan karena perintahku, bukan karena idzinku, berarti kamu masih belum husnudzdzon kepadaku).

Pasrah total saja kalau sama auliya’. Kalau disuruh nyebur sumur, nyebur. Seperti Syeikh Umar Bamakhromah dengan Syeikh Abdurrahman al-Akhdhor, disuruh melemparkan diri dari gunung.

Ingin asrar, ingin sirr gitu, tidak gampang. “Harus ujian.” “Ya kher.” “Siap ente diuji?” “Siap”.

Kamu naik ke gunung lemparkan dirimu dari atas gunung. Kalau kita kan berfikir: “Maghrum..” Harus dibuang itu segala keraguan, segala keinginan kalau kepada syaikhul ‘arif. Sampai di atas, ia lihat batu-batuan di bawahnya, merem terus dilemparkan dirinya. Tidak ada lecet meskipun sedikit. Datang kepada gurunya ditanya: “Terbuka mata atau merem?” “Merem.” Disuruh balik lagi dengan mata terbuka. Jadi tak gampang.

Justru itu kalau di hadapan seorang wali, jangan punya keinginan apa-apa. Harapkan dari kamu: “Saya ingin seperti apa yang diingini wali itu”, nanti akhirnya mendapatkan sesuatu yang besar.

(Dikutip dari Rouhah al-Habib Taufiq bin Abdulqadir Assegaf Pasuruan)