Minggu, 05 Mei 2013

Fakir Terikat dan Kaya Terbebas


TERLEPAS DARI BEBAN DUNIA

Seorang nelayan yang shalih di Tunisia tinggal di sebuah gubuk yang sederhana dari tanah liat. Setiap hari ia melayarkan perahunya untuk menangkap ikan. Ia terbiasa menyerahkan seluruh hasil tangkapannya pada orang-orang miskin dan hanya menyisakan sepotong kepala ikan untuk ia rebus sebagai makan malamnya.

Nelayan itu lalu berguru kepada sufi besar, Ibnu ‘Arabi. Seiring dengan berlalunya waktu, ia pun menjadi seorang syaikh seperti gurunya.

Suatu saat, salah seorang murid sang nelayan akan mengadakan perjalanan ke Spanyol. Nelayan itu memintanya untuk mengunjungi Syaikhul Akbar Ibnu ‘Arabi. Nelayan itu berpesan agar dimintakan nasihat bagi dirinya. Ia merasakan kebuntuan dalam jiwanya.

Pergilah murid itu ke kota kediaman Ibnu ‘Arabi. Kepada penduduk setempat, ia menanyakan tempat tinggal sang syaikh. Orang-orang menunjukkan kepadanya sebuah puri indah bagai istana yang berdiri di puncak suatu bukit. “Itulah rumah Syaikh”, ujar mereka.

Murid itu amat terkejut. Ia berfikir betapa mewah dunia Ibnu ‘Arabi dibandingkan dengan gurunya sendiri, yang tak lebih dari seorang nelayan sederhana. Dengan penuh keraguan, ia pun pergi mengunjungi rumah mewah yang ditunjukkan itu.

Sepanjang perjalanan, ia melewati ladang-ladang yang subur, jalanan yang bersih, dan kumpulan sapi, domba dan kambing. Setiap kali ia bertanya kepada orang yang dijumpainya, selalu ia memperoleh jawaban bahwa pemilik dari semua ladang, lahan dan ternak itu tak lain ialah Ibnu ‘Arabi. Tak henti-hentinya ia bertanya kepada diri sendiri: “Bagaimana mungkin seorang materialis seperti itu menjadi seorang guru sufi?”

Ketika tiba ia di puri tersebut, apa yang paling ditakutinya terbukti. Kekayaan dan kemewahan yang disaksikannya di rumah sang syaikh tak pernah ia bayangkan. Dinding rumah itu terbuat dari marmer, seluruh permukaan lantainya ditutupi oleh permadani mahal. Para pelayannya mengenakan pakaian dari sutra. Baju mereka lebih indah dari apa yang dipakai oleh orang terkaya di kampung halamannya.

Murid itu meminta untuk bertemu dengan sang syaikh. Pelayan menjawab bahwa Syaikh Ibnu ‘Arabi sedang mengunjungi khalifah dan akan segera kembali.

Tak lama kemudian, ia menyaksikan sebuah arak-arakan mendekati puri tersebut. Pertama muncul pasukan pengawal kehormatan yang terdiri dari tentara khalifah lengkap dengan perisai dan senjata yang berkilauan serta mengendarai kuda-kuda arabia yang gagah. Lalu muncullah Ibnu ‘Arabi dengan pakaian sutra yang teramat indah lengkap dengan surban yang lazim dipakai para sultan.

Si murid lalu dibawa menghadap Ibnu ‘Arabi. Para pelayan yang terdiri dari para pemuda tampan dan gadis cantik membawakan kue-kue dan minuman. Murid itu pun menyampaikan pesan dari gurunya. Ia menjadi tambah terkejut dan geram ketika Ibnu ‘Arabi mengatakan kepadanya: “Katakanlah pada gurumu, yang menjadi problem baginya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”

Tatkala murid itu kembali ke kampungnya, guru nelayan itu dengan antusias menanyakan apakah ia sempat bertemu dengan syaikh besar itu. Dipenuhi keraguan, murid itu mengaku bahwa ia memang telah menemuinya.

“Lalu, apakah ia menitipkan kepadamu suatu nasihat bagiku?” tanya sang guru.

Pada awalnya, si murid enggan mengulangi nasihat dari Ibnu ‘Arabi. Ia merasa amat tak pantas mengingat betapa berkelimangan harta yang ia lihat pada kehidupan Ibnu ‘Arabi dan betapa berkekurangan kehidupan gurunya sendiri.

Namun karena guru itu terus memaksanya, akhirnya murid itu pun bercerita tentang apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Arabi. Mendengar itu semua, sang guru itu berurai air mata. Muridnya tambah keheranan, bagaimana mungkin Ibnu ‘Arabi yang hidup sedemikian mewah, berani menasihati gurunya bahwa ia terlalu terikat kepada dunia.

“Dia benar. Ia benar-benar tak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh”, jawab sang guru.