Sabtu, 14 Februari 2015

Al Madad fil Masyhad: Sebut Namaku, dan Berjalanlah di atas Air

Tidak dipungkiri bahwa keagungan Nabi SAW melebihi segalanya, termasuk keagungan para Anbiya’ sebelumnya dan para Auliya sesudahnya. Rasulullah adalah batangnya (ashl ) sedang mereka semua adalah cabang–cabangnya (far’u).

“Wakulluhum min Rasulillahi multamisun, ghorfan minal bahhri au rashfan minad diyami.

Mereka semua meneguk secakup air dari lautan kemuliaan Rasulullah. Atau mereka menyesap tetes–tetes air dari hujan kemuliyaannya,  Al Bushiriy.

Maka barangsiapa yang memperingati kemuliyaan para auliya, maka sejatinya mereka memperingati kemuliaan Rasulullah. Barangsiapa yang memuliakan para auliya maka sejatinya mereka memuliakan Rasulullah SAW.

Di dalam mukaddimah Jami’ Karomatil Auliya, Al Imam An Nabhaniy menjelaskan banyak hal tentang hal ini. Diantara yang beliau tulis di sana bahwa karomah para waliy adalah bagian dari mukjizat Nabi.

Dengan munculnya keramat–keramat itu, maka umat sesudah zaman kenabian menjadi faham dan meyakini bahwa para auliya itu ada dalam agama yang haq. Berarti pembawa risalah dalam agama yang mereka bela itu (yakni Rasulullah) adalah haq pula.

Semakin besar seseorang memuliakan atau memperingati para auliya maka maknanya semakin besar pula dia memuliakan dan memperingati nabinya. Seseorang yang bersemangat membaca manaqib atau memperingati Haul Syaikh Abdulqadir al Jilniy sebenarnya diapun sedang bersemangat dalam menghormati Baginda Nabi SAW.

Namun kemudian menjadi isykal jika pada saat yang sama dia ‘memandang remeh’ peringatan Nabi atau pembacaan maulid beliau. Contoh sederhana, jika dia membaca manaqib Syaikh dia akan menyembelih ayam jantan dan dibuat shadaqah. Tetapi saat membaca maulid Nabi dia hanya bersedekah krupuk.

Jika dia berbuat demikian karena dianggapnya maulid Nabi ‘cuma pantasnya’ dishadaqahi krupuk maka ini adalah perendahan rutbah Rasulullah SAW. Wal ‘iyadhu billah. Namun jika dia melakukannya disebabkan dominasi ‘rasa Syaikh’ di dalam hatinya maka hal seperti itu biasa saja.
Sebenarnya dia meyakini kemuliyaan Nabi jauh di atas kemuliyaan Syaikh. Namun di dalam hatinya pengaruh Syaikh telah memenuhi seluruh sisi-sisinya, fana’ itu menyebab kemuliaan yang lain tidak lagi terasa olehnya.

Saya kesulitan untuk memilih kalimat yang tepat di dalam permasalahan ini. Tetapi jika dapat di rumuskan lebih sederhana, mungkin saya akan memilih kalimat berikut ini:

“Didalam keyakinannya tetap mengetahui bahwa kemuliaan Nabi SAW ada diatas kemuliaan Waliy. Namun karena keterbatasan kemampuan hatinya dalam menangkap keagungan-keagungan, maka baru pada taraf kemuliaan Waliy saja yang bisa benar-benar dia rasakan, sehingga mengesankan dia terlihat begitu bersemangat di dalam memperingati Waliy melebihi semangat memperingati Nabi SAW“

Para hukama menyebut “AL MADAD FIL MASYHAD“ turunnya pertolongan, keberkahan berbanding lurus dengan kesiapan hati dan keyakinannya. Banyak kisah yang berhubungan dengan hal ini.
Seperti kisah seorang murid yang diperintahkan menyeberangi lautan oleh Syaikhnya dengan cara berjalan kaki di atasnya. Kata Syaikh:

“Wahai anakku, sebutkan namaku dan berjalanlah kamu di atas air menyeberangi laut.“
Murid tersebut menuruti perintah Syaikhnya. Begitu nama beliau ia sebut maka ia sanggup berjalan di atas air tanpa tenggelam. Namun mendadak dia dalam hatinya berfikir :

“Bagaimana aku ini? Bukankah Alloh Azza Wajalla yang lebih tepat untuk aku ucapkan? Karena Allah adalah Tuhan sedangkan Syaikh ku hanyalah seorang manusia?“

Begitu terbersit di dalam hatinya fikiran tersebut maka saat itu juga tubuhnya jatuh tenggelam ke dalam laut. Dia terjebak dalam ombak, dan tenggelam nyaris celaka. Sampai kemudian dia teringat Syaikhnya dan diapun berteriak–teriak memanggil nama Syaikhnya.

“Wahai guruku, wahai Fulan …!“ Teriaknya memanggil. Dan tak menunggu lama, muncul Sang Syaikh berjalan diatas laut dan mengulurkan tangan dan menolong dirinya.

“Sudah aku katakan, sebutkan namaku saja, jangan yang lain. Engkau itu hanya mengenal diriku melebihi kenalmu kepada Tuhanmu

Kisah ini memberi kefahaman bahwa bukan berarti Syaikh itu lebih mulia daripada Allah Ta’ala. 

Namun masyhad dalam hati murid tersebut hanya mengenal Syaikhnya dari pada Tuhannya, sehingga menyebut nama Syaikh bagi dia itu lebih bermanfaat dari pada menyebut nama Rabbnya.

Suatu saat Al Habib Abdurrahman bin Syaikh Al Athas berkata :
“Bagi diriku al Habib Hasan as Syathiriy itu lebih agung dibanding Syaikh Abdulqadir al Jaylaniy. Karena jika Syaikh Abdulqadir itu kemuliaannya bagiku hanya sebatas yang pernah aku baca saja dari buku–buku, namun Al Habib Hasan itu kemuliaannya bagiku langsung aku saksikan dengan kedua belah mataku.“

Kesimpulan terahir adalah Kemuliaan Nabi diatas Kemuliaan Waliy . Tetapi masyhad di dalam hati seseorang bisa jadi membuatnya lain. Bukan berarti merendahkan kemuliaan Nabi.







Wallahu a’lam

Ust. Muhajir Madad Salim