Tidak dipungkiri bahwa keagungan Nabi SAW melebihi segalanya,
termasuk keagungan para Anbiya’ sebelumnya dan para Auliya sesudahnya.
Rasulullah adalah batangnya (ashl ) sedang mereka semua adalah cabang–cabangnya
(far’u).
“Wakulluhum min Rasulillahi multamisun, ghorfan minal
bahhri au rashfan minad diyami.
Mereka semua meneguk secakup air dari lautan kemuliaan
Rasulullah. Atau mereka menyesap tetes–tetes air dari hujan kemuliyaannya, Al Bushiriy.
Maka barangsiapa yang memperingati kemuliyaan para auliya,
maka sejatinya mereka memperingati kemuliaan Rasulullah. Barangsiapa yang
memuliakan para auliya maka sejatinya mereka memuliakan Rasulullah SAW.
Di dalam mukaddimah Jami’ Karomatil Auliya, Al Imam
An Nabhaniy menjelaskan banyak hal tentang hal ini. Diantara yang beliau tulis
di sana bahwa karomah para waliy adalah bagian dari mukjizat Nabi.
Dengan munculnya keramat–keramat itu, maka umat sesudah
zaman kenabian menjadi faham dan meyakini bahwa para auliya itu ada dalam agama
yang haq. Berarti pembawa risalah dalam agama yang mereka bela itu (yakni
Rasulullah) adalah haq pula.
Semakin besar seseorang memuliakan atau memperingati para auliya
maka maknanya semakin besar pula dia memuliakan dan memperingati nabinya.
Seseorang yang bersemangat membaca manaqib atau memperingati Haul Syaikh
Abdulqadir al Jilniy sebenarnya diapun sedang bersemangat dalam menghormati
Baginda Nabi SAW.
Namun kemudian menjadi isykal jika pada saat yang sama dia
‘memandang remeh’ peringatan Nabi atau pembacaan maulid beliau. Contoh
sederhana, jika dia membaca manaqib Syaikh dia akan menyembelih ayam jantan dan
dibuat shadaqah. Tetapi saat membaca maulid Nabi dia hanya bersedekah krupuk.
Jika dia berbuat demikian karena dianggapnya maulid Nabi ‘cuma
pantasnya’ dishadaqahi krupuk maka ini adalah perendahan rutbah Rasulullah SAW.
Wal ‘iyadhu billah. Namun jika dia melakukannya disebabkan dominasi ‘rasa
Syaikh’ di dalam hatinya maka hal seperti itu biasa saja.
Sebenarnya dia meyakini kemuliyaan Nabi jauh di atas
kemuliyaan Syaikh. Namun di dalam hatinya pengaruh Syaikh telah memenuhi
seluruh sisi-sisinya, fana’ itu menyebab kemuliaan yang lain tidak lagi terasa
olehnya.
Saya kesulitan untuk memilih kalimat yang tepat di dalam
permasalahan ini. Tetapi jika dapat di rumuskan lebih sederhana, mungkin saya akan
memilih kalimat berikut ini:
“Didalam keyakinannya tetap mengetahui bahwa kemuliaan Nabi
SAW ada diatas kemuliaan Waliy. Namun karena keterbatasan kemampuan hatinya dalam
menangkap keagungan-keagungan, maka baru pada taraf kemuliaan Waliy saja yang
bisa benar-benar dia rasakan, sehingga mengesankan dia terlihat begitu
bersemangat di dalam memperingati Waliy melebihi semangat memperingati Nabi SAW“
Para hukama menyebut “AL MADAD FIL MASYHAD“
turunnya pertolongan, keberkahan berbanding lurus dengan kesiapan hati dan
keyakinannya. Banyak kisah yang berhubungan dengan hal ini.
Seperti kisah seorang murid yang diperintahkan menyeberangi
lautan oleh Syaikhnya dengan cara berjalan kaki di atasnya. Kata Syaikh:
“Wahai anakku, sebutkan namaku dan berjalanlah kamu di atas
air menyeberangi laut.“
Murid tersebut menuruti perintah Syaikhnya. Begitu nama
beliau ia sebut maka ia sanggup berjalan di atas air tanpa tenggelam. Namun
mendadak dia dalam hatinya berfikir :
“Bagaimana aku ini? Bukankah Alloh Azza Wajalla yang lebih
tepat untuk aku ucapkan? Karena Allah adalah Tuhan sedangkan Syaikh ku hanyalah
seorang manusia?“
Begitu terbersit di dalam hatinya fikiran tersebut maka saat
itu juga tubuhnya jatuh tenggelam ke dalam laut. Dia terjebak dalam ombak, dan
tenggelam nyaris celaka. Sampai kemudian dia teringat Syaikhnya dan diapun
berteriak–teriak memanggil nama Syaikhnya.
“Wahai guruku, wahai Fulan …!“ Teriaknya memanggil. Dan tak
menunggu lama, muncul Sang Syaikh berjalan diatas laut dan mengulurkan tangan
dan menolong dirinya.
“Sudah aku katakan, sebutkan namaku saja, jangan yang lain. Engkau
itu hanya mengenal diriku melebihi kenalmu kepada Tuhanmu“
Kisah ini memberi kefahaman bahwa bukan berarti Syaikh itu
lebih mulia daripada Allah Ta’ala.
Namun masyhad dalam hati murid
tersebut hanya mengenal Syaikhnya dari pada Tuhannya, sehingga menyebut nama
Syaikh bagi dia itu lebih bermanfaat dari pada menyebut nama Rabbnya.
Suatu saat Al Habib Abdurrahman bin Syaikh Al Athas berkata
:
“Bagi diriku al Habib Hasan as Syathiriy itu lebih agung dibanding
Syaikh Abdulqadir al Jaylaniy. Karena jika Syaikh Abdulqadir itu kemuliaannya
bagiku hanya sebatas yang pernah aku baca saja dari buku–buku, namun Al Habib
Hasan itu kemuliaannya bagiku langsung aku saksikan dengan kedua belah mataku.“
Kesimpulan terahir adalah Kemuliaan Nabi diatas Kemuliaan
Waliy . Tetapi masyhad di dalam hati seseorang bisa jadi membuatnya lain.
Bukan berarti merendahkan kemuliaan Nabi.
Wallahu a’lam
Ust. Muhajir Madad Salim